Sabtu, 23 April 2016

Dari Kesuma Ke Baca


Oleh: Wahid Nugroho
Pendiri Rumah Baca Jendela Ilmu

Awalnya memang berupa kesuma mawar; ketika para lelaki dari seantero kota Catalonia berburu mawar tercantik untuk diberikan kepada kekasih mereka sebagai ungkapan cinta dalam perayaan hari Saint George yang acap dilangsungkan pada tanggal 23 April Masehi setiap tahunnya. Kondisi sekujur kota yang dilumuri dengan kelopak mawar aneka warna menjadi pemandangan yang lazim saat perayaan itu usai dan malam bertukar pagi.
Ratusan tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1923, tradisi itu perlahan berganti ketika para wanita menukarkan mawar-mawar yang mereka terima dengan buku sebagai penghormatan kepada sang pujangga agung dari tanah Iberia, Miguel de Cervantes, yang wafat pada tanggal yang sama dengan perayaan Saint George: 23 April. Para penjual buku di sana mungkin merasa nelangsa saat memandangi nasib jutaan kelopak mawar yang layu keesokan harinya usai cinta yang meluap-luap diungkapkan kepada sang belahan hati, dan karenanya mereka berniat untuk merayakan hari bersejarah itu dengan cara lain: menukarkan mawar dengan buku.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1925, tradisi itu semakin menguat dan menjalari kota-kota lain di Spanyol. Jika awalnya dimulai dari Catalonia, menyusul kota-kota besar lain di Eropa. Konon, pada masa itu, tercatat nyaris setengah juta buku terjual di daratan Eropa yang merupakan malih bentuk dari empat juta mawar yang diterima para wanita di sana.
Tujuh puluh tahun kemudian, berdasarkan tradisi itu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui UNESCO, menetapkan tanggal 23 April sebagai Hari Buku Sedunia. Pada tanggal itu pula, PBB menobatkan Ibukota Buku Dunia kepada kota yang memiliki dedikasi dosis tinggi terhadap dunia perbukuan dan budaya membaca yang kerap berubah setiap tahunnya. Jika di tahun 2015 kemarin, Incheon di Korea Selatan mendapatkan kehormatan sebagai Ibukota Buku Dunia, maka pada tahun 2016 ini, takrim itu ditahbiskan kepada Wroclaw, sebuah kota di barat daya Polandia.
Bicara soal angka 23, itulah tanggal berdirinya Rumah Baca Jendela Ilmu di Luwuk. Tepatnya, 23 Juni 2014.  Bukan 23 April, memang. Tapi sedikit banyaknya, pemilihan tanggal itu memang berakar dari semangat yang terpancar dari pendibyaan tanggal itu sebagai hari raya buku sejagat. Maka, telak dua bulan setelah kota Port Harcourt di Nigeria dinobatkan sebagai Ibukota Buku Dunia pada periode itu, Rumah Baca Jendela Ilmu memulai langkah kecilnya dalam upaya penularan virus rakus membaca kepada khalayak, utamanya yang berada di Kabupaten Banggai.
Kini, nyaris dua tahun kurang dua bulan dari almanak tersebut, Rumah Baca Jendela Ilmu telah melebarkan sayapnya di empat lokasi yang berbeda: Hanga-Hanga, Mangkio, Bukit Halimun, dan Toili. Rumah Baca Jendela Ilmu turut pula dalam hajatan literasi berskala lokal seperti Gerakan Luwuk Membaca, Literasi Luwuk, dan turut berpadu bersama Forum Lingkar Pena Kabupaten Banggai serta mendistribusikan buku-buku dan bahan bacaan ke beberapa wilayah yang ada di sekujur kabupaten Banggai.
Belakangan, Rumah Baca Jendela Ilmu menjadi inisiator dalam program Books for Luwuk; sebuah program donasi buku yang akan disalurkan kepada penggerak literasi yang tersebar di kabupaten Banggai dan telah mendapatkan kepercayaan dari beberapa penaja dari seantero nusantara. Rumah Baca Jendela Ilmu juga menjadi inspirator lahirnya gerakan literasi sejenis di kabupaten tetangga semisal Banggai Laut dengan Gerakan Banggai Membaca dan Poso dengan Komunitas Baca Poso-nya.
Langkah kecil yang menapaki jalan sunyi itu kini perlahan mulai tumbuh riuh. Rumah Baca Jendela Ilmu dengan kapasitasnya yang masih sangat terbatas membuka diri seluas-luasnya kepada komunitas literasi lokal yang ada di Luwuk untuk bersama menjalin asa demi terciptanya generasi mendatang yang tidak hanya cakap beraksara tapi juga mampu menjadi cadangankeras daerah dalam menjemput takdir kemajuannya di masa mendatang. Sebuah kerja berat yang membutuhkan peran serta dari pelbagai pihak, pastinya.
Namun demikian, Rumah Baca Jendela Ilmu hendak mengucapkan rasa syukur penuh ketulusan kepada para penaja dan penyokong yang telah mendermakan baik materi, tenaga, maupun waktu mereka demi keberlangsungan gerakan ini. Semoga apa yang telah mereka dermakan mendapatkan sebaik-baik balasan dari Sang Mahakuasa.
Dalam momen ‘hari raya buku’ yang kudus ini, setanding dengan judul di atas, izinkan kami mengidungkan kembali sebuah ujaran dari penulis buku yang menyandingkan mawar dengan buku bertajuk Il Nome della Rosa, The Name of Rose, signore Umberto Eco, mengenai ekstasenya bahwa, we live for books; kita hidup demi buku- buku!

Selamat merayakan Hari Buku Sedunia bagi yang menjalankannya.[rumahbacajendelailmu]

Rabu, 01 April 2015

Kongkow Bareng Cahyadi dan Kiki Pido

Malam ini saya mendapatkan pelajaran yang sangat penting dalam mengelola sebuah organisasi kerelawanan dari seorang teman yang sudah lama bergulat di dalam dunia itu. Pelajaran itu bernama sustainibility.

Semalam saya bertemu dengan Cahyadi, relawan Komunitas Penyala, dan juga Kiki Pido, aktivis AMAN – Asian Muslim Action Network – di lantai dua sebuah rumah makan cepat saji di Luwuk. Ditemani udara malam yang sejuk, riuh rendah anak-anak yang berlarian di wahana permainan, dan suasana lalu lintas jalan Urip Sumohardjo yang ramai, kami bertiga berbincang ngalor ngidul seputar dunia kerelawanan sekaligus mengobrol tentang rencana untuk mengajak komunitas-komunitas yang ada di Luwuk untuk sama-sama berkontribusi demi kebaikan generasi muda di Kabupaten Banggai di masa mendatang.

Pertemuan semalam bisa dibilang pertemuan lanjutan dari pertemuan-pertemuan acak yang pernah kami lakukan sebelumnya. Cahyadi dan teman-teman Komunitas Penyala-nya pernah berkunjung ke Rumah Baca Jendela Ilmu yang saya kelola, sementara Kiki dan saya pernah berdiskusi singkat di Perpustakaan Daerah menjelang akhir tahun 2014 silam. Usai pertemuan-pertemuan itu, saya memang sudah berniat di dalam hati supaya bisa melanjutkan pembicaraan yang masih ngalor-ngidul itu ke dalam bentuk yang lebih kongkrit dan terarah. Maka jadilah kami bertiga janjian buat ketemuan semalam.

Oh iya, ngomong-ngomong tentang Komunitas Penyala, mereka adalah sebuah komunitas yang punya konsern sama dengan rumah baca yang saya kelola. Kami sama-sama membangun perpustakaan untuk umum di daerah dan menyuntiknya dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Cahyadi dengan teman-temannya sudah membuat satu rumah baca di desa Ondo-Ondolu kecamatan Batui bernama Rumah Baca Sajalobba dan, menurut penuturannya, akan membuka beberapa rumah baca lagi di beberapa lokasi yang sudah mereka tentukan. Saya berjanji untuk ikut menyalurkan buku-buku yang sudah didonasikan kepada rumah baca saya kepada rumah baca yang dikelolanya dengan sistem rolling. Sistem rolling memungkinkan jangkauan buku yang lebih luas dan menuntut pertanggungjawaban yang kuat dari para pengelolanya agar menjaga buku-buku yang sudah didonasikan dari kemungkinan hilang dan rusak. Sementara Kiki, memberikan sebuah nasehat profesional yang membuat saya tersadar dengan posisi saya yang masih hijau dengan dunia kerelawanan ini. Nasehat itu adalah tentang sustainibilitas.

Ceritanya berawal ketika saya memberikan proposal rumah baca kepadanya. Selesai membaca-baca proposal yang berwarna-warni itu, Kiki melontarkan sebuah pertanyaan krusial yang, sayangnya, terlewat dari proposal itu. Kiki, sang jomblo ganteng itu (abaikan), bertanya tentang program-program rumah baca dan bagaimana cara menjamin keberlangsungan program-program tersebut ketika saya, sebagai pengelola, sudah pindah ke kota lain. Saya mengutuki diri sendiri kenapa sampai saya melupakan hal sepenting itu di dalam proposal dan terpaku pada perwajahan proposal dan hal-hal yang sudah pernah dilakukan oleh rumah baca selama ini. Kiki berpetuah kepada saya bahwa lembaga-lembaga donor biasanya memiliki perhatian yang kuat pada sisi sustainibilitas sebuah organisasi non profit seperti ini.  Memang, bergaul dengan orang-orang yang tahu lebih banyak tentang dunia seperti ini membuat saya jadi bisa belajar banyak, selain menambah jejaring yang, siapa tahu, bisa bermanfaat di kemudian hari.

Balik lagi ke soal sustainibility.

Rumah Baca Jendela Ilmu, tepat pada saat dibuatnya tulisan ini, berarti sudah tujuh bulan beroperasi secara resmi. Selama tujuh bulan perjalanannya, saya merasa bahwa apa yang saya lakukan selama ini masih jauh dari ideal. Waktu yang terbatas, tuntutan pekerjaan, dan kebutuhan-kebutuhan berskala privat yang harus saya penuhi berkejaran satu demi satu menyesaki hari. Membuka ruang diskusi dengan orang-orang yang punya pengalaman dan pemahaman yang jauh lebih banyak dari saya membuat mata saya terbuka lebih lebar dan, karenanya, jadi belajar lebih banyak. Utamanya soal sustainibility tadi. Dan juga kontinuitas.

Oh iya, jika tidak ada halangan yang berarti, Rumah Baca Jendela Ilmu bersama dengan Komunitas Penyala dan teman-teman volunteer yang lain berencana untuk mengadakan acara Rumah Baca Goes To School pada tanggal 18 April nanti. Adapun untuk detil acara dan urusan teknis lainnya masih akan dibicarakan kemudian.

‘Ala kulli haal, saya mengucapkan terima kasih atas pertemuan dan obrolan yang intens tentang kontribusi untuk masa depan wilayah ini di masa mendatang tadi malam. Bagaimanapun, kerja kerelawanan meski tampak sederhana dan kesannya mudah ternyata menyimpan kerumitan-kerumitannya tersendiri. Karena di tengah hingar bingar tawa dan hati yang menghangat karena bahagia, ada kerja dalam diam yang merampas waktu dan kebersamaan, memeras isi hati, dan melelahkan jiwa-jiwa.

Terakhir. Selamat Hari Buku Anak Sedunia. [rumahbacajendelailmu]


Kilongan, April 2015 

Selamat Hari Buku Anak Sedunia


Jumat, 05 September 2014

Rumah Baca Jendela Ilmu Resmi Berdiri

Bisa Jadi Alternatif Setelah Kebakaran Perpustakaan Daerah.

Perpustakaan daerah Kabupaten Banggai memang sudah terbakar. Pemerintah belum menyediakan sarana perpustakaan yang lebih baik hingga saat ini paska kebakaran. Namun, bukan berarti masyarakat tidak berpikir soal pentingnya buku dan perpustakaan.

Melalui sebuah lembaga bentukan Wahid Nugroho dan kawan-kawan, kini masyarakat Kabupaten Banggai tetap bisa memiliki tempat membaca yang representatif. Meski belum sebaik yang diharapkan, namun setidaknya bisa menjadi langkah awal.

Rumah Baca Jendela Ilmu namanya. Sebuah tempat yang menyediakan berbagai macam literasi di tengah keterbatasan literasi di daerah ini. Apalagi sejak Perpustakaan Daerah terbakar. Rumah Baca Jendela Ilmu ini didirikan oleh sebuah organisasi yang dibina langsung Wakil Bupati Banggai, Herwin Yatim, dan beralamat di BTN Muspratama Blok C1/11 Kelurahan Kilongan Permai, Kecamatan Luwuk Utara.

Rumah baca itu secara resmi berdiri melalui sebuah acara peresmian Selasa (2/9) kemarin. Sebuah usaha mandiri berbentuk taman bacaan itu diresmikan Asisten III Pemda Banggai Bidang Administrasi Umum, Yuten Koleba mewakili Bupati Banggai.

Hadir dalam acar itu perwakilan pemerintah Kecamatan Luwuk Utara, Lurah Kilongan Permai, Anggota DPRD Banggai, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, pihak SDN Kilongan Indah, mahasiswa KKN Unismuh Luwuk Posko Kilongan Permai dan juga elemen masyarakat setempat.

Ketua panitia pelaksana peresmian, Wahid Nugroho, dalam laporannya mengungkapkan profil singkat Rumah Baca Jendela Ilmu tersebut. Menurutnya, pendirian Rumah Baca Jendela Ilmu yaitu tepatnya pada tanggal 23 Juni 2014 lalu. Tujuannya yaitu selain merupakan usaha mandiri non profit berbentuk taman bacaan yang berfokus pada peningkatan minat baca masyarakat BTN Muspratama khususnya dan masyarakat kabupaten Banggai pada umumnya. Juga sebagai upaya menciptakan sarana untuk menyalurkan potensi warga dalam bentuk positif dan produktif.

“Pendirian Rumah Baca Jendela Ilmu memiliki visi buku  adalah jendela ilmu. Berdasarkan dari visi itu, kami ingin membangkitkan semangat membaca di kalangan masyarakat Kabupaten Banggai. Sehingga diharapkan kualitas hidup mereka akan semakin meningkat. Hal ini dapat kita lihat dan sekaligus bisa dijadikan contoh pada kondisi masyarakat di negara maju, dimana membaca buku telah menjadi kebutuhan pokok yang selalu melekat dalam segala aktivitas mereka,” ujar Wahid dalam isi sambutannya pada acara itu kemarin.

Olehnya, pria asli Jakarta yang bekerja sebagai Fungsional Pemeriksa Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Luwuk itu mengharapkan peran serta dari masyarakat di Kabupaten Banggai untuk turut mendukung gerakan ini baik moral maupun materiil.

Untuk diketahui, saat ini koleksi buku yang telah ada di rumah baca itu baru mencapai sekira 1.600an. Termasuk di dalamnya berupa komik yang berasal dari hasil sumbangan para pemerhati di luar daerah Kabupaten Banggai. Di antaranya dari daerah Lampung dan juga Denpasar.

Sementara itu, Lurah Kilongan Permai, Baharullah Arsad, dalam sambutannya menyatakan, sangat mengapresiasi berdirinya Rumah Baca Jendela Ilmu itu karena tujuannya positif. Olehnya, ia pun turut mensupport warga masyarakat untuk dapat selalu mendukung dan memanfaatkan sebaik mungkin keberadaan sarana tersebut. “Hanya saja, hal yang terpenting dan harus terus dijaga yakni menjamin ketertiban dan keamanan lingkungan,” tutur Baharullah. (ofy)

Berita ini dimuat di Luwuk Post edisi Rabu 3 September 2014

Selasa, 26 Agustus 2014

Kronik 26 Agustus 2014

Setelah diurapi teriknya sinar matari selama beberapa hari terakhir, pagi ini mendung menaungi kota Luwuk. Angin kelabu tua berkumpul di ufuk timur dan barat, sementara Bukit Halimun tampak dihujani gerimis lembut. Saya masih membaca komik Whistle di ruang tamu seraya menunggu anak-anak yang sedang mandi dan bersiap ke sekolah. Kronik ini sedianya akan saya buat tadi malam (25/8) namun urung karena laptop saya tinggalkan di kantor.

Peresmian Rumah Baca Jendela Ilmu tinggal menghitung hari, sementara masih banyak persiapan yang belum dikerjakan. Dana untuk menyewa tenda, kursi, dan juga konsumsi masih belum ada. Uang pribadi saya pun menipis, sementara uang bantuan dari teman-teman masih saya fokuskan untuk membiayai pengiriman buku-buku dari Jawa ke Luwuk. Berdasarkan penuturan adik saya, masih ada sekitar lima dus buku yang tersisa di Jurangmangu. Dengan tingginya tarif ongkos kirim menuju Luwuk, sejumlah angka yang cukup besar sudah terbayang-bayang di kepala saya. Meski begitu, saya bersyukur karena di sela-sela kesulitan yang ada, Allah mengirimkan kemudahan demi kemudahan yang membuat semangat saya jadi berlipat. Oleh karenanya, saya ingin memelihara kegembiraan di dalam hati ini dengan menuliskan kemudahan-kemudahan yang datang tersebut. Semoga Anda, para pembaca, masih setia mengikuti tulisan ini, entah sampai kapan.

Kronik pertama adalah kerja bakti pada hari Ahad (24/8) kemarin. Pagi masih berusia muda di Muspratama namun matari sudah begitu terik. Saya masih menstempel buku-buku di ruang tamu saat pak Zul (Zulhardi Nursin) masuk ke halaman rumah sambil menenteng peda (golok panjang) di tangannya. Ia berdiri dengan ragu-ragu di tempat parkir dan karenanya langsung saya sapa untuk masuk ke dalam rumah dulu sambil melihat-lihat buku.

“Belum ada yang datang, pak,” kata saya kepada pak Zul yang sedang berdiri di pintu masuk sambil melihat ke sekeliling ruang tamu saya yang masih berantakan. Ia meletakkan pedanya di teras dan masuk ke dalam rumah, melihat-lihat buku di lemari, bertanya apakah ada buku Sam Kok, yang saya jawab dengan tidak ada, lalu berjalan lagi ke samping dan meraih sebuah buku Robert Harris. Ia duduk sebentar di kursi ruang tamu sementara saya masih sibuk menstempel buku. Tak sampai sepuluh menit, saya akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pekerjaan menstempel buku dan meminjam peda kepada pak Zul yang masih berkutat dengan buku di tangannya.

Semak-semak di depan rumah sudah dibersihkan
“Coba saya mo tes dulu ini peda,” kata saya sambil melangkah keluar. Pak Zul ikut ke luar rumah dan duduk di teras masih dengan buku di tangannya sementara saya berjalan ke halaman rumah kosong yang ditumbuhi tanaman liar yang sudah meninggi. Tak sampai lima menit menebas-nebas batang pohon entah apa namanya, pak Zul ikut bergabung dan meminta kembali pedanya. Ia lalu sudah sibuk menebasi semak sementara saya mengangkuti potongan pohon yang ditinggalkannya. Tak seberapa lama, pak Basri yang anggota Polantas dan Pai datang dan tanpa dikomando langsung sibuk menebasi pohon-pohon. Berturut-turut datang pak Sofyan, pak Luqman, dan pak Kus. Berhubung saya tidak punya peda, jadi saya hanya mengangkuti semak-semak yang sudah diparas ke satu tempat dan membakarnya.

Tanjakan ke Muspratama yang dulunya dipenuhi semak juga sudah diparas

Beberapa peserta kerja bakti yang masih tersisa
 Sekitar dua puluh menit kami bekerja, warga lain pun berdatangan. Teh manis, sirup melon, dan pisang goreng panas sudah tersaji. Pak Zul, yang sebelumnya pamit pulang sebentar, kembali datang dengan penyemprot rumput. Saat kami sedang duduk-duduk dan beristirahat, kemudian datang om Peki, pak Soleh dan bapak-bapak dari blok atas. Semak-semak yang ada di sepanjang tanjakan ke Muspratama pun turut diparas sampai rapih. Salah seorang warga membawa mesin pemotong rumput sehingga pekerjaan jadi lebih mudah. Sekitar satu jam kemudian, pekerjaan selesai. Beberapa warga sudah ada yang pulang sementara sekitar sepuluhan warga masih duduk di dego-dego (semacam gardu) untuk membahas banyak hal. Pak Utin datang terlambat dan langsung mengambil sekop untuk membersihkan tumpukan tanah di plat duiker yang masih terbengkalai sementara saya dan lima orang warga lainnya sedang asyik menikmati pisang goreng dan rempeyek kacang. Obrolan yang berlangsung di antara kami tidak jauh-jauh dari politik, olahraga, keuangan, dan rencana-rencana pengembangan komplek BTN Muspratama. Ada beberapa usulan dari warga terkait pengelolaan sampah terpadu, soal kurban, soal TPA anak-anak, dan juga soal rumah baca. Sebagai warga termuda yang ada di dego-dego itu, saya lebih banyak menyimak dan merespon perkataan dari bapak-bapak yang usianya lebih senior daripada saya. Saya ingin mengorek situasi yang berkembang di komplek ini lebih jauh, karena bagaimanapun saya masih terhitung warga baru di sini. Belum genap dua tahun sejak saya pertama kali pindah tahun 2012 silam.

Acara kerja bakti itu selesai sekitar pukul sepuluh. Saya mengucapkan terima kasih atas partisipasi bapak-bapak dan kami kembali ke rumah masing-masing. Pak Luqman dan om Peki membantu saya membawakan baki berisi gelas, ceret teh, teko plastik, dan toples peyek. Rumput dan semak yang memenuhi halaman rumah kosong di depan rumah saya dan di sepanjang jalan menurun ke BTN Nusagriya sudah diparas dan tampak rapih. Semilak, kalau orang Jawa bilang.

Sang Penyampul
Sebelum zuhur, rumah kami kedatangan tamu. Ada empat orang: Ani, Ati, Mila, dan Nisa. Kesemuanya datang dengan niat yang sama: menyampul buku. Saya membiarkan mereka disambut oleh istri saya dan saya memilih untuk beristirahat di kamar. Kira-kira pukul setengah dua keempat orang tamu itu pulang. Ada banyak sekali buku yang mereka sampul. Selain keempat perempuan tersebut, ada juga Mama Arjun yang rajin mondar-mandir ke rumah untuk mengambil buku-buku yang bisa disampulnya di rumahnya. Selain itu, ia juga sering meminjam buku yang dibacanya dengan semangat. Istri saya kadang merekomendasikan beberapa judul buku untuk dibacanya. Sementara Arjun, anak sulungnya, setiap habis maghrib selalu mengaji qur’an bersama istri saya. Anak itu juga rajin membaca buku komik dan majalah yang ada di rumah.

Pada hari Senin(25/8) pagi, saya bertemu dengan pak Hertasning. Surat Undangan yang saya titipkan kepada beliau sudah ditandatangani oleh pak Wakil Bupati. Kami berbincang sedikit perihal persiapan dan hal-hal teknis menjelang hari peresmian pada tanggal 2 September. Pak Hertasning juga menitipkan sejumlah uang kepada saya. “Titipan dari Pak Herwin,” ujarnya. Saya mengucapkan terima kasih dan menitipkan salam untuk pak Herwin. Saya lalu pamit untuk mengantarkan surat itu kepada mas Ali di percetakan Mitra. Pagi ini (26/8), sekitar 60 buah surat undangan sudah siap diedarkan. Meski cuaca di Luwuk sedang hujan deras tadi pagi, istri saya, yang saya tugasi untuk mengantarkan undangan-undangan itu, berhasil mengantar beberapa undangan ke alamat-alamat terdekat yang bisa dijangkaunya saat hujan sedikit mereda.

Malam ini, bakda maghrib di masjid Ar Rahman Muspratama, saya dan beberapa jama’ah bapak-bapak berbincang seputar persiapan teknis. Dengan semakin dekatnya waktu peresmian dan belum banyaknya persiapan yang dilakukan, saya merasa perlu untuk mengundang bapak-bapak dan ibu-ibu untuk mengadakan pertemuan pada hari Rabu (27/8) besok. Pak Saleh, imam masjid, dan pak Sofyan, ketua takmir, setuju dan disepakati akan diadakan rapat antara pengurus majelis taklim bapak-bapak dan ibu-ibu untuk bertemu bakda maghrib besok.

Sebenarnya masih ada banyak lagi yang ingin saya tuliskan di sini, utamanya tentang koleksi buku yang semakin bertambah dan saya masih belum sempat mendatanya satu persatu. Rabu besok, agenda saya cukup padat. Selain mengantar undangan ke beberapa nama yang akan saya temui secara personal, saya juga perlu bertemu dengan beberapa pihak yang akan terlibat dalam acara tersebut secara langsung. Semoga ada hasil positif dan produktif dari undangan-undangan yang sudah disebar tersebut. Amin. [rbjendelailmu]


Luwuk, Agustus 2014

Jumat, 22 Agustus 2014

Kronik 23 Agustus 2014: Rapat Warga BTN Muspratama

Tahlilan baru saja selesai. Kue-kue dibagikan. Saya menarik sarung, meletakkan kopiah dan mushaf di atas kotak kue, lalu menyelonjorkan kaki. Ada sekitar empat puluh, kurang lebihnya, bapak-bapak yang datang di acara pembukaan tahlilan warga BTN Muspratama tadi malam. Acara yang diadakan di rumah om Peki itu berlangsung secara khidmat. Angin dingin dari atas bukit berhembus sejuk. Majelis Ta’lim Miftahul Jannah, demikian tete Haji Lahay menamai forum pengajian ini. Saat para tamu menikmati makanan ringan yang disediakan oleh tuan rumah, para jamaah secara aklamasi menyusunan kepengurusan majelis ta’lim khusus bapak-bapak dan menunjuk pak Saleh, imam masjid Ar Rahman, sebagai penanggungjawabnya.

Saya menyandarkan bahu ke tembok, merasai permukaannya yang dingin. Cahaya temaram di ruang tamu ini membuat mata saya sedikit mengantuk dan karenanya menguap lebar-lebar. Pak Saleh berkata bahwa acara ini adalah ajang silaturahim antara warga komplek BTN Muspratama. Beliau berharap agar para jamaah yang kebagian jatah tuan rumah tidak membebani dirinya untuk menjamu tamu di luar batas kemampuannya. “Intinya adalah silaturahmi, supaya kalau ada apa-apa bisa kita dialogkan baik-baik,” ujar pak Saleh bijak. Para jamaah mengangguk-anggukkan kepalanya. Selesai menyampaikan sepatah dua patah kata, pak Saleh menyerahkan forum kepada saya.

“Bapak-bapak, ada sedikit pemberitahuan dari pak Wahid seputar acara yang sedianya akan kita laksanakan di komplek ini, kepada pak Wahid saya silakan,” ucap pak Saleh seraya melirik ke arah saya. Suasana ruangan yang sebelumnya dipenuhi dengan suara bisik-bisik mendadak senyap. Suara angin yang berhembus kencang seolah terdengar dengan jelas. Sebuah dump truck melintas, meninggalkan aroma solar bercampur debu. Tangan saya tiba-tiba saja terasa dingin, nafas sedikit menyesak, dan keringat mengalir di pelipis saya.

Setelah mengucapkan basmalah dan salam, saya lalu menyampaikan rencana pembukaan Rumah Baca Jendela Ilmu pada tanggal 2 September 2014 nanti oleh Wakil Bupati. Suara saya terdengar sedikit tegang dan saya kehilangan beberapa poin penting yang seharusnya saya sampaikan. Sejujurnya saya merasa jika penampilan saya malam itu tidak terlalu bagus. Terlepas dari kekurangan yang ada dalam narasi yang barusan saya katakan, saya merasa puas telah diberikan kesempatan berbicara di depan forum seperti ini. Para jamaah menyimak perkataan saya baik-baik dan satu dua wajah tampak bersemangat dengan penuturan saya. Banyak kepala berkopiah mengangguk-angguk.

“Saya hendak meminta saran dari bapak-bapak semua, sekaligus meminta kesediaan dari bapak-bapak supaya acara ini, acara milik kita semua sebagai warga Muspratama ini, dapat berlangsung dengan sukses. Kita ingin sampaikan kepada semua orang yang ada di Luwuk dan Kabupaten Banggai pada khususnya, dan semua orang yang ada di Indonesia ini pada umumnya, bahwa kita bisa melakukan kontribusi positif untuk masa depan anak cucu kita kelak.”

Setengah tidak percaya, saya mengingat-ingat lagi bahwa saya baru saja berkata seperti itu. Suara saya sepertinya sedikit bergetar tadi. Seorang dua orang dari jamaah merespon perkataan saya, menanyakan hal-hal apa yang sudah dan belum ada, soal teknis acara, soal konsumsi, soal panitia, dan yang paling penting: soal dana.

Ketika para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing, beberapa di antara kami masih bertahan. Kue-kue kembali dikeluarkan. Sepotong lalampa masuk ke perut saya dengan sukses. Saya, pak Saleh, pak Imam, pak Utin, pak Zul, dan tuan rumah. Kami berbincang tentang persiapan-persiapan yang diperlukan untuk acara tersebut. Nama-nama petugas disiapkan, penanggungjawab konsumsi ditunjuk, usulan demi usulan bermunculan, ah, ini nikmat sekali. Acara ditutup dengan kesepakatan untuk mengadakan acara kerja bakti hari Ahad (24/8) besok. Pak Sofyan, takmir masjid, diminta untuk mengumumkannya hari ini. Kami lalu berpamitan dan berpisah.

Pakaian saya bau tembakau. Udara di luar masih dingin. Saya berjalan dengan langkah pelan seiring berlalunya bapak-bapak satu demi satu. Langit malam ini cerah sekali. Terima kasih warga BTN Muspratama! Mari kitorang maingkang! [rbjendelailmu]



Luwuk, Agustus 2014 

Selasa, 19 Agustus 2014

Kronik 19 Agustus 2014: Pertemuan Dengan Bapak Herwin Yatim, Wakil Bupati Kabupaten Banggai

Hari yang luar biasa! Saya mengalami kesulitan yang cukup terasa untuk menggambarkan situasi yang berlangsung sepanjang hari ini mulai dari pagi sampai saat saya menuliskan catatan ini. Semuanya terjadi begitu cepat, begitu bertubi-tubi, dan karenanya membuat saya perlu sedikit menghela nafas dan meregangkan sedikit otot yang kaku agar saya bisa menghadapi rentetan peristiwa ini dengan persiapan yang cukup. Meski saya tahu itu tidak akan pernah cukup! Apa yang terjadi gerangan? Saya harap Anda bersabar dan sudi meluangkan waktu sejenak untuk menyimak kronik berikut.

Malam ini saya begitu bersemangat untuk mengkronik peristiwa yang berlangsung seharian ini. Saya masih ingat betul detil situasinya dan berharap supaya catatan ini bisa merangkum semua kejadian itu dalam cara yang tidak terlalu bertele-tele. Ditemani nyaringnya suara jangkrik yang memenuhi semak-semak di depan rumah, hembusan angin dingin dari atas bukit, dan suara mobil yang mondar-mandir di depan rumah, catatan ini saya tulis dengan begitu bersemangat.

Kemarin (18/8) saya mendapatkan kabar gembira dari teman-teman di STAN 2003: bantuan berupa dana dari mereka sudah cair. Sebuah pesan dari Feni (Rinawati) dan mas Nanang (Yusuf Mustafit) sudah membuat hati saya girang bukan kepalang. Cairnya bantuan yang jumlahnya cukup signifikan itu artinya ada dana yang bisa digunakan untuk menebus beberapa buku yang sudah diincar sekaligus mengirim satu dua paket buku yang masih tertahan di Jurangmangu. Kepada teman-teman di STAN 2003 saya mengucapkan terima kasih, terutama kepada mas Nanang yang sering saya ‘teror’ perihal progres proposal tersebut. Alhamdulillah, di sela-sela kesibukannya, kedua teman saya itu sudah memberikan kemudahan bagi rumah baca ini.

Setelah kabar gembira dari STAN 2003, ada satu kabar jackpot yang datang kepada saya. Pagi ini (19/8), saya sedang menyicil pekerjaan di kantor saat sebuah telepon, telepon yang paling saya tunggu-tunggu sejak beberapa hari belakangan, dari pak Hertasning Yatim. Pertemuan saya dengan beliau sempat saya singgung sedikit pada tulisan ini dan sebenarnya saya baru saja hendak menuliskan hasil pertemuan saya dengan beliau beberapa malam yang lalu di blog ini. Namun telepon beliau tadi pagi mengurungkan niat saya untuk memposting tulisan yang sudah disiapkan itu. Kenapa? Karena pagi ini saya hendak bertemu dengan Wakil Bupati Kabupaten Banggai, bapak Ir. H. Herwin Yatim M.M. yang juga kakak kandung dari pak Hertasning.

“Pak Wahid hari ini sedang tidak sibuk? Kalau tidak, mari kita ke (Bukit) Halimun (kantor wakil bupati) sekarang,” ujar pak Her, demikian saya biasa memanggil beliau, dengan tempo cepat.

Terkesiap menerima telepon yang begitu mendadak, meski sudah saya tunggu-tunggu sejak beberapa hari belakangan, saya langsung panik. Proposal tertinggal di rumah. Beruntung printer pribadi saya tidak saya bawa pulang dan masih ada di meja saya. Saya lalu berkata kepada pak Her bahwa beri saya waktu 10 menit dan setelah itu saya akan segera menjemput beliau agar bisa pergi ke Halimun bersama-sama.

Singkat cerita, saya dan pak Her akhirnya sampai di Halimun. Sepanjang perjalanan, kami berbincang tentang banyak hal, utamanya soal bahan pembicaraan yang nanti akan kami bahas saat bertemu dengan pak Herwin. Sesampainya di pelataran parkir kantor bupati di Bukit Halimun, saya dan pak Her turun dan langsung menuju ke lantai dua. Kalau diingat-ingat, kali terakhir saya datang ke kantor bupati ini adalah sekitar tahun 2008 atau 2009 yang lalu saat ada acara sosialisasi pajak untuk PNS Pemda Kabupaten Banggai. Setelah diangkat sebagai pemeriksa, saya sudah tidak pernah menginjakkan kaki di kantor ini lagi.

Saya dan pak Her sudah sampai di lantai dua. Seorang lelaki berbadan tegap menyambut kami berdua, sepertinya ia adalah ajudan sang wakil bupati, dan menyilakan kami masuk ke sebuah ruangan kecil, semacam ruang tunggu, yang sudah disesaki banyak orang. Ada beberapa wajah familiar yang saya temui di ruangan yang penuh sesak dengan asap tembakau itu. Ruangan yang agak temaram dan pengap itu dipenuhi sekitar sembilan orang. Salah satunya yang duduk di dekat pintu masuk ke ruangan wakil bupati dan kerap keluar masuk saat bel yang tertempel di tembok berbunyi, sepertinya adalah ajudan bupati lainnya. Saya tidak tahu dan tidak bertanya. Di ruangan itu saya dan pak Her lebih banyak diam. Syahrain Sibay, sang direktur PDAM, yang sedang duduk di sofa di seberang saya dan sepertinya juga menunggu giliran untuk menemui pak Herwin, mengajak kami semua bercerita tentang dunia pendidikan dan beasiswa. Kami tidak berbincang soal motivasi kedatangan kami ke tempat itu dan saya lebih suka seperti itu.

Setelah sekitar lima belas atau dua puluh menit menunggu, akhirnya tiba giliran saya dan pak Her masuk. Bersamaan dengan kami, sang direktur PDAM yang meminta giliran lebih dulu. Saya dan pak Her memenuhi permintaannya karena sepertinya beliau yang lebih dulu datang ketimbang kami berdua.

Ruangan yang kami masuki sangat luas, cerah, sejuk, dan udaranya segar. Kontras sekali dengan suasana di ruang tunggu yang temaram dan pengap. Tirai berwarna krem lembut, sofa yang empuk, lemari berisi buku-buku dan berkas penting, serta alunan murattal Syaikh Sudais bervolume rendah, menjadi suasana yang menenangkan. Saya, jujur saja, sangat tegang. Ini adalah kesempatan kali pertama saya untuk bertemu dan berbicara secara langsung dengan wakil bupati. Saat menanti giliran kami, saya dan pak Her berbincang dengan suara perlahan. Sesekali saya melirik ke arah meja pak wakil bupati yang dipenuhi dengan tumpukan berkas aneka rupa dan buku-buku yang saya tidak tahu apa judulnya. Pak Herwin pagi itu mengenakan seragam berwarna khaki, tampak muda, segar, sehat, dan mengenakan kacamata baca yang cocok dengan bentuk rahangnya yang kokoh. Ia tahun ini akan berusia 48 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk ukuran seorang wakil bupati. Karir politik beliau insya Allah masih sangat panjang, ujar saya kepada pak Her sambil berbisik. Di samping itu, beliau saat ini tengah menempuh studi doktoralnya di Universitas Brawijaya Malang. Jurusan manajemen adalah bidang studi yang diambilnya.

Pak Herwin menyimak perkataan pak direktur PDAM dengan seksama. Terkadang ia memencet-mencet handphonenya dan kembali menyimak, lalu bersandar, memperbaiki letak kacamata bacanya yang melorot, menegakkan sandarannya, dan sesekali memandang ke luar jendela. Cuaca Luwuk pagi itu sangat cerah setelah berhari-hari diguyur hujan yang memuramkan kota kecil ini. Tak sampai lima belas menit, tibalah giliran saya.

Saya dan pak Her beranjak ke dua buah kursi yang berada tepat menghadap mejanya. Saya mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri saya. Pak Her memberi sedikit pengantar tentang diri saya dan kami berbasa-basi sejenak. Yang mengherankan, pak Herwin langsung menebak kalau saya adalah orang pajak. Entah dari nametag yang saya pakai yang selalu diperhatikannya saat saya duduk, atau dari map fungsional pemeriksa yang saya bawa sebagai tempat proposal, beliau bisa tahu tentang pekerjaan saya. Hanya saja saya sempat mengamati pandangan mata beliau yang tampaknya sedang memerhatikan nametag pajak yang terpasang di saku kiri saya.

Singkat cerita, saya lalu menjelaskan maksud kedatangan saya. Saya menjelaskan tentang kisah awal yang melandasi ide rumah baca ini, langkah-langkah apa saja yang sudah saya lakukan, donasi-donasi yang sudah masuk, dan sebagainya dan seterusnya. Beliau menyimak dengan antusias dan sangat mengapresiasi rencana ini. Beliau lalu bertanya, apa yang bisa beliau bantu. Saya berkata bahwa saya berencana membuat semacam seremoni kecil dan sederhana, dan meminta kesediaan beliau untuk meluangkan waktu demi meresmikan rumah baca ini. Beliau ternyata sangat menyambut ide itu dan meminta saya untuk memasukkan namanya ke dalam struktur pengurus rumah baca.

“Saya insya Allah siap jadi Dewan Pembina” ujarnya dengan mantap.

Beliau juga meminta saya untuk membuat konsep undangan dimana beliau tinggal menandatanganinya saja. Pada intinya, pak Herwin siap datang ke BTN Muspratama untuk meresmikan rumah baca ini dan tanggal yang ditentukan adalah Selasa pagi, tanggal 2 September 2014. Kami sengaja memilih hari kerja agar undangan yang hadir bisa dimaksimalkan.

“Tulis di undangan itu ‘Mengetahui Wakil Bupati’ supaya lebih mantap” katanya menginstruksikan saya. Saya mengangguk mantap dan berkata siap. Beliau juga menyebutkan pihak-pihak yang sebaiknya diundang: Muspida, Kepala Dinas, Camat, Lurah, Bank-bank, JOB Pertamina, dan lain-lain. Saya mencatat nama-nama itu dan melirik ke arah pak Her untuk membantu saya mengingatkan.

Sebelum pulang, beliau juga meminta saya untuk membuat sketsa lemari buku, karena beliau juga ingin menyumbangkan lemari buku.

“Pak Wahid buat saja desain lemarinya, nanti serahkan ke saya, supaya saya bisa minta tukang buat lemari untuk buatkan” pintanya sambil tersenyum.

Tidak selesai sampai di situ, beliau juga menitipkan sejumlah uang untuk digunakan dalam seremonial peresmian itu.

“Ini dana tidak seberapa, untuk beli kue di acara launching nanti,” ujarnya sambil menerima sebuah map berisi amplop putih dan mengangsurkannya kepada saya.

Sepulang dari kantor wakil bupati, kepala saya tiba-tiba saja disesaki dengan beragam rencana. Pak Her memberikan saran dan masukan yang sangat berharga bagi saya. Saat kami berpisah di depan alun-alun Bumi Mutiara, pak Her mengingatkan saya untuk berkoordinasi terus agar tidak terlupa. Saya mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada pak Her atas budi baiknya hari itu.

Oh iya, ngomong-ngomong soal pak Her dan pak Herwin, kedua kakak beradik itu memang punya relasi yang unik. Pak Hertasning adalah mantan anggota legislatif DPRD Kabupaten Banggai tahun 2009-2014 dari PKS, sementara pak Herwin adalah ketua DPC PDIP Kabupaten Banggai. Kedua kakak beradik politisi yang berbeda ‘jalur’ ini selalu menghadirkan kisah tersendiri dalam interaksi mereka yang unik. Sepanjang perjalanan pulang dari Bukit Halimun ke alun-alun, saya kerap bertanya tentang pola interaksi beliau berdua selama ini, ditambah lagi dengan status sang kakak yang saat ini sebagai wakil bupati.

Pertemuan dengan pak Herwin ini saya sampaikan kepada bapak-bapak usai shalat maghrib di masjid Musprataman. Sayang, mati lampu yang terjadi sekitar pukul 18.45 membuat obrolan kami terhenti. Saya sudah menyampaikan hasil pertemuan saya tadi pagi sekaligus rencana-rencana yang perlu warga BTN Muspratama lakukan agar acara launching itu bisa berjalan sukses. Pak Peki mengusulkan supaya hal ini dibahas saat pertemuan yasinan bapak-bapak malam sabtu besok. Saya setuju.

Kronik ini sebenarnya tidak seperti ini. Saya akui, tulisan ini sangat jelek. Rentetan kejadian yang terjadi seharian penuh ini membuat saya kebingungan untuk memilah dan memilih hal-hal apa saja yang ingin saya tulis. Semoga di kesempatan lain tulisan ini bisa sedikit diperkaya dengan aspek detail lainnya, termasuk soal luapan emosi saya yang nyaris tak terkontrol saat membahas rencana-rencana pembukaan itu dengan istri saya.

Terima kasih kepada pak Herwin Yatim, selaku Wakil Bupati Kabupaten Banggai, atas keramahannya. Terima kasih juga kepada pak Hertasning Yatim yang sudah repot-repot mengantarkan saya menemui sang kakak di sela-sela kesibukannya. Sayang sekali, pertemuan tadi pagi tidak sempat diabadikan. Saya juga hendak mengucapkan terima kasih kepada STAN 2003 atas bantuannya. Tak lupa kepada mas Wahyu, seorang teman di FB yang bekerja di site DSLNG di Batui, yang sudah mendonasikan sejumlah dana kepada Rumah Baca Jendela Ilmu. Sayang kontrak beliau akan segera berakhir tahun ini dan karenanya akan meninggalkan Luwuk dalam waktu dekat. Namun beliau tetap menanti perkembangan rumah baca ini melalui kabar-kabar di linimasa saya.

Saya ingin mengucapkan terima kasih pula kepada para tetangga dan jamaah masjid Ar Rahman BTN Muspratama yang siap memback-up acara launching rumah baca ini. Semoga kita bisa jadi tim yang tangguh dan mampu menunjukkan kepada orang banyak bahwa komplek yang mungil ini pun punya potensi yang luar biasa besar. Faito! [rbjendelailmu]


Luwuk, Agustus 2014