Jumat, 05 September 2014

Rumah Baca Jendela Ilmu Resmi Berdiri

Bisa Jadi Alternatif Setelah Kebakaran Perpustakaan Daerah.

Perpustakaan daerah Kabupaten Banggai memang sudah terbakar. Pemerintah belum menyediakan sarana perpustakaan yang lebih baik hingga saat ini paska kebakaran. Namun, bukan berarti masyarakat tidak berpikir soal pentingnya buku dan perpustakaan.

Melalui sebuah lembaga bentukan Wahid Nugroho dan kawan-kawan, kini masyarakat Kabupaten Banggai tetap bisa memiliki tempat membaca yang representatif. Meski belum sebaik yang diharapkan, namun setidaknya bisa menjadi langkah awal.

Rumah Baca Jendela Ilmu namanya. Sebuah tempat yang menyediakan berbagai macam literasi di tengah keterbatasan literasi di daerah ini. Apalagi sejak Perpustakaan Daerah terbakar. Rumah Baca Jendela Ilmu ini didirikan oleh sebuah organisasi yang dibina langsung Wakil Bupati Banggai, Herwin Yatim, dan beralamat di BTN Muspratama Blok C1/11 Kelurahan Kilongan Permai, Kecamatan Luwuk Utara.

Rumah baca itu secara resmi berdiri melalui sebuah acara peresmian Selasa (2/9) kemarin. Sebuah usaha mandiri berbentuk taman bacaan itu diresmikan Asisten III Pemda Banggai Bidang Administrasi Umum, Yuten Koleba mewakili Bupati Banggai.

Hadir dalam acar itu perwakilan pemerintah Kecamatan Luwuk Utara, Lurah Kilongan Permai, Anggota DPRD Banggai, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, pihak SDN Kilongan Indah, mahasiswa KKN Unismuh Luwuk Posko Kilongan Permai dan juga elemen masyarakat setempat.

Ketua panitia pelaksana peresmian, Wahid Nugroho, dalam laporannya mengungkapkan profil singkat Rumah Baca Jendela Ilmu tersebut. Menurutnya, pendirian Rumah Baca Jendela Ilmu yaitu tepatnya pada tanggal 23 Juni 2014 lalu. Tujuannya yaitu selain merupakan usaha mandiri non profit berbentuk taman bacaan yang berfokus pada peningkatan minat baca masyarakat BTN Muspratama khususnya dan masyarakat kabupaten Banggai pada umumnya. Juga sebagai upaya menciptakan sarana untuk menyalurkan potensi warga dalam bentuk positif dan produktif.

“Pendirian Rumah Baca Jendela Ilmu memiliki visi buku  adalah jendela ilmu. Berdasarkan dari visi itu, kami ingin membangkitkan semangat membaca di kalangan masyarakat Kabupaten Banggai. Sehingga diharapkan kualitas hidup mereka akan semakin meningkat. Hal ini dapat kita lihat dan sekaligus bisa dijadikan contoh pada kondisi masyarakat di negara maju, dimana membaca buku telah menjadi kebutuhan pokok yang selalu melekat dalam segala aktivitas mereka,” ujar Wahid dalam isi sambutannya pada acara itu kemarin.

Olehnya, pria asli Jakarta yang bekerja sebagai Fungsional Pemeriksa Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Luwuk itu mengharapkan peran serta dari masyarakat di Kabupaten Banggai untuk turut mendukung gerakan ini baik moral maupun materiil.

Untuk diketahui, saat ini koleksi buku yang telah ada di rumah baca itu baru mencapai sekira 1.600an. Termasuk di dalamnya berupa komik yang berasal dari hasil sumbangan para pemerhati di luar daerah Kabupaten Banggai. Di antaranya dari daerah Lampung dan juga Denpasar.

Sementara itu, Lurah Kilongan Permai, Baharullah Arsad, dalam sambutannya menyatakan, sangat mengapresiasi berdirinya Rumah Baca Jendela Ilmu itu karena tujuannya positif. Olehnya, ia pun turut mensupport warga masyarakat untuk dapat selalu mendukung dan memanfaatkan sebaik mungkin keberadaan sarana tersebut. “Hanya saja, hal yang terpenting dan harus terus dijaga yakni menjamin ketertiban dan keamanan lingkungan,” tutur Baharullah. (ofy)

Berita ini dimuat di Luwuk Post edisi Rabu 3 September 2014

Selasa, 26 Agustus 2014

Kronik 26 Agustus 2014

Setelah diurapi teriknya sinar matari selama beberapa hari terakhir, pagi ini mendung menaungi kota Luwuk. Angin kelabu tua berkumpul di ufuk timur dan barat, sementara Bukit Halimun tampak dihujani gerimis lembut. Saya masih membaca komik Whistle di ruang tamu seraya menunggu anak-anak yang sedang mandi dan bersiap ke sekolah. Kronik ini sedianya akan saya buat tadi malam (25/8) namun urung karena laptop saya tinggalkan di kantor.

Peresmian Rumah Baca Jendela Ilmu tinggal menghitung hari, sementara masih banyak persiapan yang belum dikerjakan. Dana untuk menyewa tenda, kursi, dan juga konsumsi masih belum ada. Uang pribadi saya pun menipis, sementara uang bantuan dari teman-teman masih saya fokuskan untuk membiayai pengiriman buku-buku dari Jawa ke Luwuk. Berdasarkan penuturan adik saya, masih ada sekitar lima dus buku yang tersisa di Jurangmangu. Dengan tingginya tarif ongkos kirim menuju Luwuk, sejumlah angka yang cukup besar sudah terbayang-bayang di kepala saya. Meski begitu, saya bersyukur karena di sela-sela kesulitan yang ada, Allah mengirimkan kemudahan demi kemudahan yang membuat semangat saya jadi berlipat. Oleh karenanya, saya ingin memelihara kegembiraan di dalam hati ini dengan menuliskan kemudahan-kemudahan yang datang tersebut. Semoga Anda, para pembaca, masih setia mengikuti tulisan ini, entah sampai kapan.

Kronik pertama adalah kerja bakti pada hari Ahad (24/8) kemarin. Pagi masih berusia muda di Muspratama namun matari sudah begitu terik. Saya masih menstempel buku-buku di ruang tamu saat pak Zul (Zulhardi Nursin) masuk ke halaman rumah sambil menenteng peda (golok panjang) di tangannya. Ia berdiri dengan ragu-ragu di tempat parkir dan karenanya langsung saya sapa untuk masuk ke dalam rumah dulu sambil melihat-lihat buku.

“Belum ada yang datang, pak,” kata saya kepada pak Zul yang sedang berdiri di pintu masuk sambil melihat ke sekeliling ruang tamu saya yang masih berantakan. Ia meletakkan pedanya di teras dan masuk ke dalam rumah, melihat-lihat buku di lemari, bertanya apakah ada buku Sam Kok, yang saya jawab dengan tidak ada, lalu berjalan lagi ke samping dan meraih sebuah buku Robert Harris. Ia duduk sebentar di kursi ruang tamu sementara saya masih sibuk menstempel buku. Tak sampai sepuluh menit, saya akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pekerjaan menstempel buku dan meminjam peda kepada pak Zul yang masih berkutat dengan buku di tangannya.

Semak-semak di depan rumah sudah dibersihkan
“Coba saya mo tes dulu ini peda,” kata saya sambil melangkah keluar. Pak Zul ikut ke luar rumah dan duduk di teras masih dengan buku di tangannya sementara saya berjalan ke halaman rumah kosong yang ditumbuhi tanaman liar yang sudah meninggi. Tak sampai lima menit menebas-nebas batang pohon entah apa namanya, pak Zul ikut bergabung dan meminta kembali pedanya. Ia lalu sudah sibuk menebasi semak sementara saya mengangkuti potongan pohon yang ditinggalkannya. Tak seberapa lama, pak Basri yang anggota Polantas dan Pai datang dan tanpa dikomando langsung sibuk menebasi pohon-pohon. Berturut-turut datang pak Sofyan, pak Luqman, dan pak Kus. Berhubung saya tidak punya peda, jadi saya hanya mengangkuti semak-semak yang sudah diparas ke satu tempat dan membakarnya.

Tanjakan ke Muspratama yang dulunya dipenuhi semak juga sudah diparas

Beberapa peserta kerja bakti yang masih tersisa
 Sekitar dua puluh menit kami bekerja, warga lain pun berdatangan. Teh manis, sirup melon, dan pisang goreng panas sudah tersaji. Pak Zul, yang sebelumnya pamit pulang sebentar, kembali datang dengan penyemprot rumput. Saat kami sedang duduk-duduk dan beristirahat, kemudian datang om Peki, pak Soleh dan bapak-bapak dari blok atas. Semak-semak yang ada di sepanjang tanjakan ke Muspratama pun turut diparas sampai rapih. Salah seorang warga membawa mesin pemotong rumput sehingga pekerjaan jadi lebih mudah. Sekitar satu jam kemudian, pekerjaan selesai. Beberapa warga sudah ada yang pulang sementara sekitar sepuluhan warga masih duduk di dego-dego (semacam gardu) untuk membahas banyak hal. Pak Utin datang terlambat dan langsung mengambil sekop untuk membersihkan tumpukan tanah di plat duiker yang masih terbengkalai sementara saya dan lima orang warga lainnya sedang asyik menikmati pisang goreng dan rempeyek kacang. Obrolan yang berlangsung di antara kami tidak jauh-jauh dari politik, olahraga, keuangan, dan rencana-rencana pengembangan komplek BTN Muspratama. Ada beberapa usulan dari warga terkait pengelolaan sampah terpadu, soal kurban, soal TPA anak-anak, dan juga soal rumah baca. Sebagai warga termuda yang ada di dego-dego itu, saya lebih banyak menyimak dan merespon perkataan dari bapak-bapak yang usianya lebih senior daripada saya. Saya ingin mengorek situasi yang berkembang di komplek ini lebih jauh, karena bagaimanapun saya masih terhitung warga baru di sini. Belum genap dua tahun sejak saya pertama kali pindah tahun 2012 silam.

Acara kerja bakti itu selesai sekitar pukul sepuluh. Saya mengucapkan terima kasih atas partisipasi bapak-bapak dan kami kembali ke rumah masing-masing. Pak Luqman dan om Peki membantu saya membawakan baki berisi gelas, ceret teh, teko plastik, dan toples peyek. Rumput dan semak yang memenuhi halaman rumah kosong di depan rumah saya dan di sepanjang jalan menurun ke BTN Nusagriya sudah diparas dan tampak rapih. Semilak, kalau orang Jawa bilang.

Sang Penyampul
Sebelum zuhur, rumah kami kedatangan tamu. Ada empat orang: Ani, Ati, Mila, dan Nisa. Kesemuanya datang dengan niat yang sama: menyampul buku. Saya membiarkan mereka disambut oleh istri saya dan saya memilih untuk beristirahat di kamar. Kira-kira pukul setengah dua keempat orang tamu itu pulang. Ada banyak sekali buku yang mereka sampul. Selain keempat perempuan tersebut, ada juga Mama Arjun yang rajin mondar-mandir ke rumah untuk mengambil buku-buku yang bisa disampulnya di rumahnya. Selain itu, ia juga sering meminjam buku yang dibacanya dengan semangat. Istri saya kadang merekomendasikan beberapa judul buku untuk dibacanya. Sementara Arjun, anak sulungnya, setiap habis maghrib selalu mengaji qur’an bersama istri saya. Anak itu juga rajin membaca buku komik dan majalah yang ada di rumah.

Pada hari Senin(25/8) pagi, saya bertemu dengan pak Hertasning. Surat Undangan yang saya titipkan kepada beliau sudah ditandatangani oleh pak Wakil Bupati. Kami berbincang sedikit perihal persiapan dan hal-hal teknis menjelang hari peresmian pada tanggal 2 September. Pak Hertasning juga menitipkan sejumlah uang kepada saya. “Titipan dari Pak Herwin,” ujarnya. Saya mengucapkan terima kasih dan menitipkan salam untuk pak Herwin. Saya lalu pamit untuk mengantarkan surat itu kepada mas Ali di percetakan Mitra. Pagi ini (26/8), sekitar 60 buah surat undangan sudah siap diedarkan. Meski cuaca di Luwuk sedang hujan deras tadi pagi, istri saya, yang saya tugasi untuk mengantarkan undangan-undangan itu, berhasil mengantar beberapa undangan ke alamat-alamat terdekat yang bisa dijangkaunya saat hujan sedikit mereda.

Malam ini, bakda maghrib di masjid Ar Rahman Muspratama, saya dan beberapa jama’ah bapak-bapak berbincang seputar persiapan teknis. Dengan semakin dekatnya waktu peresmian dan belum banyaknya persiapan yang dilakukan, saya merasa perlu untuk mengundang bapak-bapak dan ibu-ibu untuk mengadakan pertemuan pada hari Rabu (27/8) besok. Pak Saleh, imam masjid, dan pak Sofyan, ketua takmir, setuju dan disepakati akan diadakan rapat antara pengurus majelis taklim bapak-bapak dan ibu-ibu untuk bertemu bakda maghrib besok.

Sebenarnya masih ada banyak lagi yang ingin saya tuliskan di sini, utamanya tentang koleksi buku yang semakin bertambah dan saya masih belum sempat mendatanya satu persatu. Rabu besok, agenda saya cukup padat. Selain mengantar undangan ke beberapa nama yang akan saya temui secara personal, saya juga perlu bertemu dengan beberapa pihak yang akan terlibat dalam acara tersebut secara langsung. Semoga ada hasil positif dan produktif dari undangan-undangan yang sudah disebar tersebut. Amin. [rbjendelailmu]


Luwuk, Agustus 2014

Jumat, 22 Agustus 2014

Kronik 23 Agustus 2014: Rapat Warga BTN Muspratama

Tahlilan baru saja selesai. Kue-kue dibagikan. Saya menarik sarung, meletakkan kopiah dan mushaf di atas kotak kue, lalu menyelonjorkan kaki. Ada sekitar empat puluh, kurang lebihnya, bapak-bapak yang datang di acara pembukaan tahlilan warga BTN Muspratama tadi malam. Acara yang diadakan di rumah om Peki itu berlangsung secara khidmat. Angin dingin dari atas bukit berhembus sejuk. Majelis Ta’lim Miftahul Jannah, demikian tete Haji Lahay menamai forum pengajian ini. Saat para tamu menikmati makanan ringan yang disediakan oleh tuan rumah, para jamaah secara aklamasi menyusunan kepengurusan majelis ta’lim khusus bapak-bapak dan menunjuk pak Saleh, imam masjid Ar Rahman, sebagai penanggungjawabnya.

Saya menyandarkan bahu ke tembok, merasai permukaannya yang dingin. Cahaya temaram di ruang tamu ini membuat mata saya sedikit mengantuk dan karenanya menguap lebar-lebar. Pak Saleh berkata bahwa acara ini adalah ajang silaturahim antara warga komplek BTN Muspratama. Beliau berharap agar para jamaah yang kebagian jatah tuan rumah tidak membebani dirinya untuk menjamu tamu di luar batas kemampuannya. “Intinya adalah silaturahmi, supaya kalau ada apa-apa bisa kita dialogkan baik-baik,” ujar pak Saleh bijak. Para jamaah mengangguk-anggukkan kepalanya. Selesai menyampaikan sepatah dua patah kata, pak Saleh menyerahkan forum kepada saya.

“Bapak-bapak, ada sedikit pemberitahuan dari pak Wahid seputar acara yang sedianya akan kita laksanakan di komplek ini, kepada pak Wahid saya silakan,” ucap pak Saleh seraya melirik ke arah saya. Suasana ruangan yang sebelumnya dipenuhi dengan suara bisik-bisik mendadak senyap. Suara angin yang berhembus kencang seolah terdengar dengan jelas. Sebuah dump truck melintas, meninggalkan aroma solar bercampur debu. Tangan saya tiba-tiba saja terasa dingin, nafas sedikit menyesak, dan keringat mengalir di pelipis saya.

Setelah mengucapkan basmalah dan salam, saya lalu menyampaikan rencana pembukaan Rumah Baca Jendela Ilmu pada tanggal 2 September 2014 nanti oleh Wakil Bupati. Suara saya terdengar sedikit tegang dan saya kehilangan beberapa poin penting yang seharusnya saya sampaikan. Sejujurnya saya merasa jika penampilan saya malam itu tidak terlalu bagus. Terlepas dari kekurangan yang ada dalam narasi yang barusan saya katakan, saya merasa puas telah diberikan kesempatan berbicara di depan forum seperti ini. Para jamaah menyimak perkataan saya baik-baik dan satu dua wajah tampak bersemangat dengan penuturan saya. Banyak kepala berkopiah mengangguk-angguk.

“Saya hendak meminta saran dari bapak-bapak semua, sekaligus meminta kesediaan dari bapak-bapak supaya acara ini, acara milik kita semua sebagai warga Muspratama ini, dapat berlangsung dengan sukses. Kita ingin sampaikan kepada semua orang yang ada di Luwuk dan Kabupaten Banggai pada khususnya, dan semua orang yang ada di Indonesia ini pada umumnya, bahwa kita bisa melakukan kontribusi positif untuk masa depan anak cucu kita kelak.”

Setengah tidak percaya, saya mengingat-ingat lagi bahwa saya baru saja berkata seperti itu. Suara saya sepertinya sedikit bergetar tadi. Seorang dua orang dari jamaah merespon perkataan saya, menanyakan hal-hal apa yang sudah dan belum ada, soal teknis acara, soal konsumsi, soal panitia, dan yang paling penting: soal dana.

Ketika para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing, beberapa di antara kami masih bertahan. Kue-kue kembali dikeluarkan. Sepotong lalampa masuk ke perut saya dengan sukses. Saya, pak Saleh, pak Imam, pak Utin, pak Zul, dan tuan rumah. Kami berbincang tentang persiapan-persiapan yang diperlukan untuk acara tersebut. Nama-nama petugas disiapkan, penanggungjawab konsumsi ditunjuk, usulan demi usulan bermunculan, ah, ini nikmat sekali. Acara ditutup dengan kesepakatan untuk mengadakan acara kerja bakti hari Ahad (24/8) besok. Pak Sofyan, takmir masjid, diminta untuk mengumumkannya hari ini. Kami lalu berpamitan dan berpisah.

Pakaian saya bau tembakau. Udara di luar masih dingin. Saya berjalan dengan langkah pelan seiring berlalunya bapak-bapak satu demi satu. Langit malam ini cerah sekali. Terima kasih warga BTN Muspratama! Mari kitorang maingkang! [rbjendelailmu]



Luwuk, Agustus 2014 

Selasa, 19 Agustus 2014

Kronik 19 Agustus 2014: Pertemuan Dengan Bapak Herwin Yatim, Wakil Bupati Kabupaten Banggai

Hari yang luar biasa! Saya mengalami kesulitan yang cukup terasa untuk menggambarkan situasi yang berlangsung sepanjang hari ini mulai dari pagi sampai saat saya menuliskan catatan ini. Semuanya terjadi begitu cepat, begitu bertubi-tubi, dan karenanya membuat saya perlu sedikit menghela nafas dan meregangkan sedikit otot yang kaku agar saya bisa menghadapi rentetan peristiwa ini dengan persiapan yang cukup. Meski saya tahu itu tidak akan pernah cukup! Apa yang terjadi gerangan? Saya harap Anda bersabar dan sudi meluangkan waktu sejenak untuk menyimak kronik berikut.

Malam ini saya begitu bersemangat untuk mengkronik peristiwa yang berlangsung seharian ini. Saya masih ingat betul detil situasinya dan berharap supaya catatan ini bisa merangkum semua kejadian itu dalam cara yang tidak terlalu bertele-tele. Ditemani nyaringnya suara jangkrik yang memenuhi semak-semak di depan rumah, hembusan angin dingin dari atas bukit, dan suara mobil yang mondar-mandir di depan rumah, catatan ini saya tulis dengan begitu bersemangat.

Kemarin (18/8) saya mendapatkan kabar gembira dari teman-teman di STAN 2003: bantuan berupa dana dari mereka sudah cair. Sebuah pesan dari Feni (Rinawati) dan mas Nanang (Yusuf Mustafit) sudah membuat hati saya girang bukan kepalang. Cairnya bantuan yang jumlahnya cukup signifikan itu artinya ada dana yang bisa digunakan untuk menebus beberapa buku yang sudah diincar sekaligus mengirim satu dua paket buku yang masih tertahan di Jurangmangu. Kepada teman-teman di STAN 2003 saya mengucapkan terima kasih, terutama kepada mas Nanang yang sering saya ‘teror’ perihal progres proposal tersebut. Alhamdulillah, di sela-sela kesibukannya, kedua teman saya itu sudah memberikan kemudahan bagi rumah baca ini.

Setelah kabar gembira dari STAN 2003, ada satu kabar jackpot yang datang kepada saya. Pagi ini (19/8), saya sedang menyicil pekerjaan di kantor saat sebuah telepon, telepon yang paling saya tunggu-tunggu sejak beberapa hari belakangan, dari pak Hertasning Yatim. Pertemuan saya dengan beliau sempat saya singgung sedikit pada tulisan ini dan sebenarnya saya baru saja hendak menuliskan hasil pertemuan saya dengan beliau beberapa malam yang lalu di blog ini. Namun telepon beliau tadi pagi mengurungkan niat saya untuk memposting tulisan yang sudah disiapkan itu. Kenapa? Karena pagi ini saya hendak bertemu dengan Wakil Bupati Kabupaten Banggai, bapak Ir. H. Herwin Yatim M.M. yang juga kakak kandung dari pak Hertasning.

“Pak Wahid hari ini sedang tidak sibuk? Kalau tidak, mari kita ke (Bukit) Halimun (kantor wakil bupati) sekarang,” ujar pak Her, demikian saya biasa memanggil beliau, dengan tempo cepat.

Terkesiap menerima telepon yang begitu mendadak, meski sudah saya tunggu-tunggu sejak beberapa hari belakangan, saya langsung panik. Proposal tertinggal di rumah. Beruntung printer pribadi saya tidak saya bawa pulang dan masih ada di meja saya. Saya lalu berkata kepada pak Her bahwa beri saya waktu 10 menit dan setelah itu saya akan segera menjemput beliau agar bisa pergi ke Halimun bersama-sama.

Singkat cerita, saya dan pak Her akhirnya sampai di Halimun. Sepanjang perjalanan, kami berbincang tentang banyak hal, utamanya soal bahan pembicaraan yang nanti akan kami bahas saat bertemu dengan pak Herwin. Sesampainya di pelataran parkir kantor bupati di Bukit Halimun, saya dan pak Her turun dan langsung menuju ke lantai dua. Kalau diingat-ingat, kali terakhir saya datang ke kantor bupati ini adalah sekitar tahun 2008 atau 2009 yang lalu saat ada acara sosialisasi pajak untuk PNS Pemda Kabupaten Banggai. Setelah diangkat sebagai pemeriksa, saya sudah tidak pernah menginjakkan kaki di kantor ini lagi.

Saya dan pak Her sudah sampai di lantai dua. Seorang lelaki berbadan tegap menyambut kami berdua, sepertinya ia adalah ajudan sang wakil bupati, dan menyilakan kami masuk ke sebuah ruangan kecil, semacam ruang tunggu, yang sudah disesaki banyak orang. Ada beberapa wajah familiar yang saya temui di ruangan yang penuh sesak dengan asap tembakau itu. Ruangan yang agak temaram dan pengap itu dipenuhi sekitar sembilan orang. Salah satunya yang duduk di dekat pintu masuk ke ruangan wakil bupati dan kerap keluar masuk saat bel yang tertempel di tembok berbunyi, sepertinya adalah ajudan bupati lainnya. Saya tidak tahu dan tidak bertanya. Di ruangan itu saya dan pak Her lebih banyak diam. Syahrain Sibay, sang direktur PDAM, yang sedang duduk di sofa di seberang saya dan sepertinya juga menunggu giliran untuk menemui pak Herwin, mengajak kami semua bercerita tentang dunia pendidikan dan beasiswa. Kami tidak berbincang soal motivasi kedatangan kami ke tempat itu dan saya lebih suka seperti itu.

Setelah sekitar lima belas atau dua puluh menit menunggu, akhirnya tiba giliran saya dan pak Her masuk. Bersamaan dengan kami, sang direktur PDAM yang meminta giliran lebih dulu. Saya dan pak Her memenuhi permintaannya karena sepertinya beliau yang lebih dulu datang ketimbang kami berdua.

Ruangan yang kami masuki sangat luas, cerah, sejuk, dan udaranya segar. Kontras sekali dengan suasana di ruang tunggu yang temaram dan pengap. Tirai berwarna krem lembut, sofa yang empuk, lemari berisi buku-buku dan berkas penting, serta alunan murattal Syaikh Sudais bervolume rendah, menjadi suasana yang menenangkan. Saya, jujur saja, sangat tegang. Ini adalah kesempatan kali pertama saya untuk bertemu dan berbicara secara langsung dengan wakil bupati. Saat menanti giliran kami, saya dan pak Her berbincang dengan suara perlahan. Sesekali saya melirik ke arah meja pak wakil bupati yang dipenuhi dengan tumpukan berkas aneka rupa dan buku-buku yang saya tidak tahu apa judulnya. Pak Herwin pagi itu mengenakan seragam berwarna khaki, tampak muda, segar, sehat, dan mengenakan kacamata baca yang cocok dengan bentuk rahangnya yang kokoh. Ia tahun ini akan berusia 48 tahun. Usia yang masih sangat muda untuk ukuran seorang wakil bupati. Karir politik beliau insya Allah masih sangat panjang, ujar saya kepada pak Her sambil berbisik. Di samping itu, beliau saat ini tengah menempuh studi doktoralnya di Universitas Brawijaya Malang. Jurusan manajemen adalah bidang studi yang diambilnya.

Pak Herwin menyimak perkataan pak direktur PDAM dengan seksama. Terkadang ia memencet-mencet handphonenya dan kembali menyimak, lalu bersandar, memperbaiki letak kacamata bacanya yang melorot, menegakkan sandarannya, dan sesekali memandang ke luar jendela. Cuaca Luwuk pagi itu sangat cerah setelah berhari-hari diguyur hujan yang memuramkan kota kecil ini. Tak sampai lima belas menit, tibalah giliran saya.

Saya dan pak Her beranjak ke dua buah kursi yang berada tepat menghadap mejanya. Saya mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri saya. Pak Her memberi sedikit pengantar tentang diri saya dan kami berbasa-basi sejenak. Yang mengherankan, pak Herwin langsung menebak kalau saya adalah orang pajak. Entah dari nametag yang saya pakai yang selalu diperhatikannya saat saya duduk, atau dari map fungsional pemeriksa yang saya bawa sebagai tempat proposal, beliau bisa tahu tentang pekerjaan saya. Hanya saja saya sempat mengamati pandangan mata beliau yang tampaknya sedang memerhatikan nametag pajak yang terpasang di saku kiri saya.

Singkat cerita, saya lalu menjelaskan maksud kedatangan saya. Saya menjelaskan tentang kisah awal yang melandasi ide rumah baca ini, langkah-langkah apa saja yang sudah saya lakukan, donasi-donasi yang sudah masuk, dan sebagainya dan seterusnya. Beliau menyimak dengan antusias dan sangat mengapresiasi rencana ini. Beliau lalu bertanya, apa yang bisa beliau bantu. Saya berkata bahwa saya berencana membuat semacam seremoni kecil dan sederhana, dan meminta kesediaan beliau untuk meluangkan waktu demi meresmikan rumah baca ini. Beliau ternyata sangat menyambut ide itu dan meminta saya untuk memasukkan namanya ke dalam struktur pengurus rumah baca.

“Saya insya Allah siap jadi Dewan Pembina” ujarnya dengan mantap.

Beliau juga meminta saya untuk membuat konsep undangan dimana beliau tinggal menandatanganinya saja. Pada intinya, pak Herwin siap datang ke BTN Muspratama untuk meresmikan rumah baca ini dan tanggal yang ditentukan adalah Selasa pagi, tanggal 2 September 2014. Kami sengaja memilih hari kerja agar undangan yang hadir bisa dimaksimalkan.

“Tulis di undangan itu ‘Mengetahui Wakil Bupati’ supaya lebih mantap” katanya menginstruksikan saya. Saya mengangguk mantap dan berkata siap. Beliau juga menyebutkan pihak-pihak yang sebaiknya diundang: Muspida, Kepala Dinas, Camat, Lurah, Bank-bank, JOB Pertamina, dan lain-lain. Saya mencatat nama-nama itu dan melirik ke arah pak Her untuk membantu saya mengingatkan.

Sebelum pulang, beliau juga meminta saya untuk membuat sketsa lemari buku, karena beliau juga ingin menyumbangkan lemari buku.

“Pak Wahid buat saja desain lemarinya, nanti serahkan ke saya, supaya saya bisa minta tukang buat lemari untuk buatkan” pintanya sambil tersenyum.

Tidak selesai sampai di situ, beliau juga menitipkan sejumlah uang untuk digunakan dalam seremonial peresmian itu.

“Ini dana tidak seberapa, untuk beli kue di acara launching nanti,” ujarnya sambil menerima sebuah map berisi amplop putih dan mengangsurkannya kepada saya.

Sepulang dari kantor wakil bupati, kepala saya tiba-tiba saja disesaki dengan beragam rencana. Pak Her memberikan saran dan masukan yang sangat berharga bagi saya. Saat kami berpisah di depan alun-alun Bumi Mutiara, pak Her mengingatkan saya untuk berkoordinasi terus agar tidak terlupa. Saya mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada pak Her atas budi baiknya hari itu.

Oh iya, ngomong-ngomong soal pak Her dan pak Herwin, kedua kakak beradik itu memang punya relasi yang unik. Pak Hertasning adalah mantan anggota legislatif DPRD Kabupaten Banggai tahun 2009-2014 dari PKS, sementara pak Herwin adalah ketua DPC PDIP Kabupaten Banggai. Kedua kakak beradik politisi yang berbeda ‘jalur’ ini selalu menghadirkan kisah tersendiri dalam interaksi mereka yang unik. Sepanjang perjalanan pulang dari Bukit Halimun ke alun-alun, saya kerap bertanya tentang pola interaksi beliau berdua selama ini, ditambah lagi dengan status sang kakak yang saat ini sebagai wakil bupati.

Pertemuan dengan pak Herwin ini saya sampaikan kepada bapak-bapak usai shalat maghrib di masjid Musprataman. Sayang, mati lampu yang terjadi sekitar pukul 18.45 membuat obrolan kami terhenti. Saya sudah menyampaikan hasil pertemuan saya tadi pagi sekaligus rencana-rencana yang perlu warga BTN Muspratama lakukan agar acara launching itu bisa berjalan sukses. Pak Peki mengusulkan supaya hal ini dibahas saat pertemuan yasinan bapak-bapak malam sabtu besok. Saya setuju.

Kronik ini sebenarnya tidak seperti ini. Saya akui, tulisan ini sangat jelek. Rentetan kejadian yang terjadi seharian penuh ini membuat saya kebingungan untuk memilah dan memilih hal-hal apa saja yang ingin saya tulis. Semoga di kesempatan lain tulisan ini bisa sedikit diperkaya dengan aspek detail lainnya, termasuk soal luapan emosi saya yang nyaris tak terkontrol saat membahas rencana-rencana pembukaan itu dengan istri saya.

Terima kasih kepada pak Herwin Yatim, selaku Wakil Bupati Kabupaten Banggai, atas keramahannya. Terima kasih juga kepada pak Hertasning Yatim yang sudah repot-repot mengantarkan saya menemui sang kakak di sela-sela kesibukannya. Sayang sekali, pertemuan tadi pagi tidak sempat diabadikan. Saya juga hendak mengucapkan terima kasih kepada STAN 2003 atas bantuannya. Tak lupa kepada mas Wahyu, seorang teman di FB yang bekerja di site DSLNG di Batui, yang sudah mendonasikan sejumlah dana kepada Rumah Baca Jendela Ilmu. Sayang kontrak beliau akan segera berakhir tahun ini dan karenanya akan meninggalkan Luwuk dalam waktu dekat. Namun beliau tetap menanti perkembangan rumah baca ini melalui kabar-kabar di linimasa saya.

Saya ingin mengucapkan terima kasih pula kepada para tetangga dan jamaah masjid Ar Rahman BTN Muspratama yang siap memback-up acara launching rumah baca ini. Semoga kita bisa jadi tim yang tangguh dan mampu menunjukkan kepada orang banyak bahwa komplek yang mungil ini pun punya potensi yang luar biasa besar. Faito! [rbjendelailmu]


Luwuk, Agustus 2014 

Selasa, 12 Agustus 2014

Kronik Rumah Baca: 13 Agustus 2014

Apa kabar para pecinta buku? Semoga kabar baik untuk Anda semua. Kali ini saya mau melanjutkan komitmen saya untuk mengupdate blog ini setidak-tidaknya tiga atau empat hari sekali. Selambat-lambatnya setiap pekan sekali. Menulis adalah salah satu upaya saya untuk menjaga nyala api semangat di dalam dada. Di samping itu, ia adalah terapi bagi jiwa ini agar senantiasa menatap dunia dengan penuh harapan. Harapan yang positif.

Tulisan ini sebenarnya mau saya buat semalam. Tapi apa lacur, ketika saya baru mau menghidupkan laptop, listrik mati. Setelah menyalakan lampu darurat, saya kembali ke tempat saya berbaring. Menunggu dan menunggu. Saya sempat duduk sebentar di teras rumah, menikmati pucatnya cahaya bulan yang mengurapi gelapnya bumi selama beberapa menit, memandangi atap-atap rumah yang kesemuanya berwarna abu-abu tua, tapi listrik tak kunjung menyala. Saya pun masuk kembali ke dalam rumah, memperbaiki posisi ketiga putri saya yang tidur di ruang tamu lalu tertidur.

Beberapa hari belakangan ini ada banyak peristiwa yang berlangsung seputar persiapan launching Rumah Baca Jendela Ilmu. Peristiwa yang semakin menyemangati saya agar melakukan persiapan yang serius. Orang-orang yang bertemu dengan saya baik di dunia maya maupun nyata selalu bertanya: kapan rumah bacanya dibuka? Pertanyaan yang masih sulit saya jawab karena persiapannya yang masih berkelit-kelindan dengan kegiatan lain. Namun saya tetap memberikan jawaban yang paling ‘aman’ buat saya meski saya tidak yakin dengan jawaban itu: semoga akhir Agustus ini lah.

Ketidakyakinan saya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dikarenakan saya belum mendapat kepastian dari pihak-pihak terkait yang hendak saya undang dalam acara launching itu. Target saya memang sangat tinggi: saya hendak mengundang wakil bupati Banggai, bapak Herwin Yatim. Saya juga menargetkan beberapa nama untuk saya undang meski itu berarti harus seiring sejalan pula dengan persiapan dana yang tidak sedikit. Tapi saya harus mampu menyemangati diri saya sendiri. Apa yang tampak tidak mungkin dan berat dijalani seharusnya tidak menurunkan semangat saya, malah sebaliknya. Saya merasa tertantang untuk menuntaskan masalah-masalah itu dalam tempo waktu yang semakin sempit dari waktu yang saya targetkan.

Alhamdulillah, di balik keruwetan-keruwetan yang melanda pikiran saya, ada banyak kabar gembira yang menyuntikkan energi tak tergantikan bagi saya. Kabar gembira pertama datang dari mas Nanang yang memastikan sejumlah uang dengan nominal yang cukup besar untuk didonasikan kepada rumah baca. Uang itu, ujar saya kepada mas Nanang, rencananya akan saya belikan lemari dan juga mengirimkan buku-buku yang masih tertahan di collecting point di Jurangmangu. Oh iya, mas Nanang ini teman seangkatan saya di STAN 2003. Sedangkan dana yang ingin disalurkannya kepada saya itu adalah dana alumni yang terkumpul setelah hajatan Reuni Akbar Ikanas Keuangan tahun 2013 yang lalu. Saya memang sempat mengirimkan proposal kepada teman-teman di STAN 2003 yang dulu saya tulis secara sekilas di sini. Terima kasih kepada mas Nanang dan teman-teman STAN 2003. Semoga bantuan ini memberikan keberkahan bagi kita semua. Amin.

Kabar gembira selanjutnya datang dari seorang teman di Facebook yang hendak mengadakan tukar guling buku-buku koleksinya dengan jersey-jersey yang saya jual. Saya menyetujui tawaran itu dan kami melakukan kontak yang intens sejak bulan puasa kemarin. Setelah melalui obrolan-obrolan yang panjang, tibalah penetapan waktu untuk bertemu. Kawan saya itu mau datang ke rumah di Jurangmangu pada hari Senin (11/8) sore untuk melihat-lihat koleksi jersey saya. Berhubung waktu itu saya masih riweuh mengantarkan anak-anak diurut ke rumah mertua, saya hanya ingin proses tukar guling ini berjalan sederhana. Saya menyilakannya datang ke rumah untuk bertemu dengan adik saya, Nino. Tak seberapa lama, ia menyebutkan nama jersey ini dan itu, sekian dan sekian. Saya lalu menimbang-nimbang dan menyetujuinya. Singkat cerita, transaksi yang berlangsung antara Jurangmangu-Luwuk itu selesai dalam hitungan menit. Saya mengucapkan terima kasih atas bantuannya dan menanti kedatangan buku-buku itu ke Luwuk. Alhamdulillah.

Berikutnya adalah kabar gembira lainnya. Pada tanggal 1 Agustus 2014 yang lalu, saya membuka pre order kaos Ennio Tardini di grup Bursa Kolektor Parma di facebook. Semua keuntungan dari pre order itu rencananya akan saya salurkan untuk rumah baca ini. Alhamdulillah, peminatnya cukup banyak. Saya sudah bisa menghitung-hitung keuntungan bersih yang akan masuk: cukup untuk mengirim satu dus berisi buku seberat 15-20 kg sepertinya, hehe. Apapun itu, alhamdulillah dan terima kasih atas partisipasi teman-teman. Semoga sebelum bulan Agustus ini berakhir, kaos itu sudah bisa diterima oleh para pemesan.

Terkhusus kabar gembira yang terakhir ini, saya ingin cerita yang agak panjang.

Hari Ahad (10/8) kemarin, saya mendapatkan bantuan dari akhuna Heru yang sudah bersedia dititipi buku sekardus ke Luwuk. Sejak lebaran, saya memang sudah meminta tolong kepadanya agar saya bisa menitip sekardus buku ketika ia berangkat ke Luwuk. Ia menyetujuinya. Maka pada Sabtu (9/8), saya menyuruh adik untuk pergi ke Cipondoh mengantarkan buku-buku itu. Singkat cerita, buku itu sudah sampai ke Luwuk hari Ahad kemarin saat saya menjemput Heru dan keluarganya di bandara sepulang acara aqiqah anaknya pak Udin di desa Koyoan.

Buku-buku yang baru datang (kecuali Orhan Pamuk, karena itu koleksi pribadi saya hehe)

Sesampai di rumah, saya membongkar paket berisi sekitar 30an buku itu. Saat memandangi lemari buku yang ada di ruang tamu, saya berkata kepada istri bahwa kita perlu membeli lemari baru karena lemari yang ada sepertinya sudah tidak muat menampung buku-buku lainnya. Obrolan bertema lemari ini terus berlangsung sampai keesokan harinya. Kami masih berdiskusi soal lemari sampai Selasa (12/8) pagi saat saya dan dirinya berangkat ke “kantor” kami masing-masing. Berbagai kemungkinan kami bahas. Plan A begini, plan B begitu. Nama calon tukang oprek lemari pun sudah kami kantongi. Namun saat obrolan itu dipertajam ke soal anggaran, well, kami cuma bisa cengar-cengir sambil berandai-andai ada dana yang bisa digunakan untuk membeli lemari karena dana dari STAN 2003 waktu itu, dan sampai saya buat tulisan ini, belum cair. Mungkin mbak Feny, teman seangkatan saya lainnya di KPP PMB yang memegang dana itu, belum sempat mentransfer. Tidak apa. Namun, tertundanya transferan dana itu ternyata mengandung hikmah tersendiri. Hikmah yang menjadi jawaban dari doa dan harap saya dan istri untuk memiliki lemari buku baru. Rupanya, Allah menjawab doa kami lebih cepat.

Lemari baru
Adalah telepon dari seseorang yang sangat bersemangat mendukung gerakan rumah baca ini yang telah menjadi sang pengantar hikmah itu. Selasa siang, saat saya menjemput istri yang sedang berbelanja di pasar, orang itu menelepon saya. Saya diminta untuk datang ke toko meubel untuk mengambil sesuatu katanya. Sesuatu itu ternyata sebuah lemari berukuran sedang yang hendak disumbangkannya kepada rumah baca. Dunia, entah kenapa, serasa berhenti bergerak. Seolah-olah ada layar putih besar yang tiba-tiba saja terbentang di hadapan saya dan memutar adegan yang memuat dialog antara saya dan istri dalam beberapa hari belakangan ini mengenai perlunya sebuah lemari baru. Adegan yang sempat menggantung dan belum ketemu pangkal ujungnya itu lalu terngiang-ngiang di benak saya. Tapi siang ini, adegan itu bertemu juga dengan muaranya. Saya mengucapkan terima kasih kepada beliau yang sudah berbaik hati menyumbangkan lemari, lemari baru, kepada rumah baca ini. Sepanjang perjalanan pulang, saya dan istri berbincang banyak tentang mukjizat – bolehkah saya sebut seperti itu?– yang baru saja terjadi itu dan bertahmid berkali-kali.



Sesampai di rumah, ada telepon masuk ke seluler saya. Sebuah nomor asing yang tampaknya sudah dua kali me-misscall saya. Mungkin ini pengantar lemari. Saat telepon itu saya terima, ternyata benar. Lemari itu ternyata mirip dengan lemari milik saya yang ada di ruang tengah hanya saja ukurannya sedikit lebih kecil. Lemari yang sangat bagus. Alhamdulillah.

Di samping kabar-kabar yang ada di atas, ada kabar gembira lainnya, hasil dari pertemuan saya dengan seseorang di BTN Km 5. Khusus bagian ini akan saya ceritakan di tulisan yang lain, insya Allah.

Semangat! [rbjendelailmu]



Kilongan, Agustus 2014 

Kamis, 07 Agustus 2014

Kronik Rumah Baca: 7 Agustus 2014

Semoga tulisan-tulisan yang ada di blog ini tidak membuat Anda, para pembaca, bosan. Saya memang berkomitmen untuk menuliskan segala hal yang terjadi seputar rumah baca ini di dalam blog sebagai wujud pertanggungjawaban saya, dan karenanya komitmen ini menjadikan saya akan lebih banyak bicara (maksud saya menulis).

Selama kurun waktu empat hari terakhir, sejak tulisan terakhir saya di tanggal 4 Agustus silam, ada begitu banyak perkembangan yang kian menyemangati saya untuk merealisasikan taman bacaan ini menjadi nyata dan berkontribusi positif di masyarakat. Kabar pertama adalah wakaf buku dari seorang kenalan saya di facebook. Ia berasal dari Ciamis – jadi inget sama seorang temen asal Ciamis yang kerjaannya bakulan balance paypal. Kami, well, belum lama berteman. Mungkin baru satu bulan terakhir ini. Singkat cerita, pada tanggal 1 Agustus 2014 kemarin, beliau mengirimkan pesan ke facebook saya. Beliau bertanya tentang Rumah Baca Jendela Ilmu dan dimana lokasinya. Saya lalu menjawab pertanyaan-pertanyaan itu yang diresponnya dengan penawaran yang tidak mungkin saya tolak. “Saya berminat menyumbang buku-buku dan majalah bekas,” katanya.

Sumbangan buku dari Ciamis, totalnya 19 buku dan 7 majalah, beratnya sekitar 6 kg
Maka sejak saat itu, saya dan beliau ngobrol-ngobrol di pesan facebook, dan juga di sms, untuk membahas tentang teknis pengiriman dan tetek-bengek lainnya. Dan pada tanggal 7 Agustus sore kemarin, beliau mengirimkan pesan kepada saya bahwa buku-buku yang sudah dipackingnya sudah dikirimkan ke alamat saya di Jurangmangu. Saya mengucapkan terima kasih kepada beliau atas kepeduliannya pada dunia pendidikan di Luwuk dengan segala keterbatasan yang dimilikinya seraya mendoakan kebaikan baginya.

Wakaf buku dari Jamaah Masjid Shalahudin KPDJP
Selain itu, saya juga mendapat kabar gembira dari salah satu kawan baik saya, Danang, yang melaporkan bahwa buku-buku sumbangan yang terkumpul di Masjid Shalahuddin Kantor Pusat DJP sudah menumpuk. Ia menyebutkan sejumlah angka dan saya menaksir estimasi tonasenya. Setelah diestimasi, ternyata jumlahnya sangat banyak. Ada sekitar 50+ buku yang disumbangkan oleh jamaah Masjid Shalahuddin. Luar biasa! Masalah selanjutnya yang muncul adalah soal pengiriman. Saya berkata kepada Danang bahwa masalah ini akan saya bicarakan kepada Nanang (awas, jangan sampe kebalik hehe). Kenapa harus saya bicarakan dengan Nanang? Karena sebelum lebaran kemarin saya sempat menitipkan proposal padanya untuk dibawa ke forum alumni STAN angkatan 2003. Nanang berjanji untuk membahas soal proposal itu setelah ia masuk kantor dan memberikan kepastian sekitar hari Selasa atau Rabu (12-13/8) pekan depan. Kejelasan tentang proposal itu penting karena terkait pendanaan pengiriman buku-buku yang sudah semakin menumpuk di Jakarta. Maklum, ongkos kirim ke Luwuk mahalnya luar bi(n)asa!

Selain dua kabar di atas, pada hari Kamis (7/8) kemarin saya berkunjung ke Perpustakaan MIM dan berjanji untuk ketemuan dengan ustadz Iswan sebagai pengelolanya. Saya dan beliau sudah janjian sejak beberapa hari yang lalu bahwa saya akan datang ke perpustakaannya untuk ‘menjemput’ buku-buku yang sekitar 5 tahun lalu pernah saya ‘titipkan’ ke Perpustakaan MIM agar dapat dimasukkan kembali ke dalam koleksi Rumah Baca Jendela Ilmu. Beliau menyambut baik permintaan itu dan sepulang dari kantor, saya lalu mampir ke rumahnya di tanjakan SMP 1 Luwuk. Meski ada beberapa buku yang tidak tampak – sepertinya sedang dipinjam – saya pulang dengan membawa 1 dus penuh buku dan oleh-oleh berupa sesisir pisang raja yang sudah masak sekali dari Ummu Abdurrahman.

Harafisy
Buku-buku yang saya jemput dari Perpustakaan MIM adalah buku-buku yang sudah saya baca sampai tuntas, semuanya buku novel. Salah satu yang paling memorable adalah buku berjudul Harafisy yang dikarang oleh Naguib (Najib) Mahfouz. Soal ini mungkin akan saya tulis pada bagian tersendiri.

Pada tanggal 7 Agustus pula dua jersey bola yang saya jual alhamdulillah laku. Salah satu jersey yang terjual itu dananya memang saya niatkan untuk dikonversi menjadi buku. Ternyata Allah memberikan kemudahanNya kepada saya dan menggugah hati sang pembeli untuk membeli satu jersey lainnya. Alhamdulillah. Saya pun langsung menghubungi tiga penjual buku yang koleksi bukunya sudah saya incar dan menyelesaikan transaksi pada hari itu juga.

Alhamdulillah. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Rumah Baca Jendela Ilmu. Semoga amal baik Anda semua mendapatkan sebaik-baik balasan dari Allah swt. Semangat! [rbjendelailmu]



Luwuk, Agustus 2014

Minggu, 03 Agustus 2014

Kronik Rumah Baca: 4 Agustus 2014

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Luwuk masih sepi. Motor-motor yang ditinggal pemiliknya mudik masih terparkir dengan setia di belakang. Debu-debu menyelimuti jok kulit dan permukaan lainnya. Sambil membopong kardus berisi printer yang sengaja saya bawa dari rumah, saya melangkah dengan tergopoh-gopoh ke lantai tiga. Saya bertemu dengan ibu Liam, Anto, Piter, dan melangkah lebih dalam ke ruangan PDI. Hanya ada Ance dan Faisal, Operator Console anyar kantor ini, sedang duduk di kursi mereka masing-masing. Saya naik ke lantai dua dan celingak-celinguk sebentar seperti mencari sesuatu dan saya kembali melihat mas Ari, pegawai baru kantor ini, sedang duduk di sofa di depan pintu ruangan Kasubag Umum. Saya naik ke atas dan masuk ke dalam ruangan yang disesaki aroma berkas dan debu.

Pagi ini saya masih sendirian di dalam ruangan. Supervisor saya, mas Rahmat, dan ketua tim sebelah, mas Pavit, masih belum nampak. Saya meletakkan kardus berisi printer di meja saya yang layaknya kapal pecah. Kertas-kertas aneka rupa berceceran, pulpen dan pensil tergeletak begitu saja dengan pasrah di atas meja, paper clip dan aneka map berwarna hijau dan kuning teronggok di permukaan meja. Saya memasang laptop dan segala tetek-bengeknya, menyalakannya dan online sebentar. Membaca-baca pesan yang masuk, membaca-baca artikel yang berseliweran, menulis-nulis sesuatu di laptop, lalu berjalan sebentar ke arah dispenser yang masih mati. Saya menyalakannya dan berjalan lagi ke meja tempat piring, gelas, dan membuka laci yang berisi ransum seperti permen, kopi instan, dan semacamnya. Rasa-rasanya, sudah lama sekali saya tidak minum kopi pagi-pagi begini. Saya memang jarang minum kopi. Kalau dihitung-hitung mungkin hanya enam atau tujuh bungkus kopi instan saja setahun. Iya, Anda tidak salah baca: SETAHUN. Saya tidak suka kopi hitam, sebenarnya saya tidak begitu suka kopi apapun, entah kenapa. Tapi pagi ini saya ingin ngopi dulu. Setelah mengambil sebungkus kopi instan dari dalam laci dan cangkir keramik putih milik saya yang berjejer rapi di salah satu sudut meja, saya kembali duduk di bilik kerja saya. 

Sambil menunggu air panas di dispenser, saya kembali menatap layar laptop. Membaca-baca artikel lagi sembari membalas beberapa postingan di facebook. Saat sedang asyik membaca, pak Alex dan mas Radit, account representative dari seksi Waskon 3 datang. Saya sudah berlebaran dengan mas Radit saat shalat Jumat di Masjid Pancasila tempo hari sedangkan pak Alex saya temui di lobi bawah saat hendak menyetor absen tadi pagi. Mereka berdua mencari mas Rahmat dan mas Pavit, saya sampaikan bahwa keduanya belum ada lalu mereka berdua pamit keluar.

Beberapa menit kemudian, air panas yang saya tunggu sepertinya sudah siap. Saya merobek bungkus kopi instan dan menuangkannya ke dalam cangkir putih. Aroma khas kopi instan menyapa indra penciuman saya. Saya berjalan ke arah dispenser dan mengisi sepertiga cangkir dengan air panas. Bau uap kopi langsung menyeruak memenuhi ruangan. Saya mengaduk-aduk cangkir dengan sendok dan ketika sudah yakin air panas dan kopi tercampur rata, saya mengisi dua pertiga cangkir dengan air dingin. Saya memang tidak terlalu suka minuman yang terlalu panas.

Ketika hendak berbalik ke meja kerja, saya memandangi pendingin ruangan yang ada di dekat meja mas Rahmat masih mati. Saya mencari remote yang tergeletak di meja tempat ransum dan memencetnya berkali-kali. Masih mati. Ternyata baterai di dalam remote itu kosong. Saya memaki diri sendiri dan jelalatan mencari baterai. Tak berhasil. Saya mendekati AC dan mencari-cari tombol ON di dekat situ. Tak berhasil juga. Saya menyerah dan tidak tertarik melanjutkan perjuangan menghidupkan AC lalu kembali ke ruang kerja saya. Tak sampai beberapa menit duduk, listrik kantor mati. Hal yang biasa terjadi di kota kecil ini. Sambil menyesap kopi yang hangat-hangat kuku, saya meraih buku Senja di Jakarta dan mulai membaca. Membaca buku saat mati listrik di kantor adalah kegiatan favorit saya. Daripada mati gaya lebih baik baca buku. Tadinya saya mau menulis “tilawah qur’an” saja, tapi berhubung nanti ada yang kurang berkenan jadi saya ganti dengan “baca buku” hehehe.

Tidak sampai dua menit saya membaca, Dhipo, anak seksi RIKI, datang. Kami berlebaran dan berbasa-basi sejenak. Bertukar kabar seperlunya dan ia pamit keluar. Saya melanjutkan bacaan yang tertunda sampai tak seberapa lama kemudian listrik kembali menyala. Suara raungan printer yang ada di pojok ruangan menjadi penanda bahwa kabel-kabel ini sudah teraliri listrik. Saya meletakkan buku yang sedang saya baca dan menyalakan laptop antik saya kembali. Sembari menunggu booting, saya melanjutkan bacaan saya yang tertunda. Saat layar laptop menunjukkan halaman login, saya meletakkan kembali buku di tangan dan kembali berkutat dengan rencana mengkronik rumah baca yang telah saya rencanakan.

Hari Sabtu (2/8) kemarin, rumah (istri) saya kedatangan tamu: Devi dan Enny. Enny adalah warga BTN Nusagriya yang tempo hari pernah saya ceritakan sebagai relawan penyampul buku di sini, sedangkan Devi adalah, bagaimana saya harus menceritakan kawan yang satu ini, seorang blogger yang tinggal di Luwuk. Ia bekerja di Pegadaian. Singkat cerita, kedatangan kedua perempuan muda ini ke rumah adalah untuk mengantarkan buku-buku yang hendak didonasikan Devi untuk rumah baca ini. Saya dan Devi memang sudah berkoordinasi satu dua hari sebelumnya bahwa ia akan datang ke rumah untuk mengantar buku. Setelah berkompromi soal waktu, datanglah ia sore itu bersama Enny.

Di sela-sela pertemuan, Devi berkata bahwa kebanyakan dari buku-buku itu adalah lungsuran dari seseorang-yang-tidak-boleh-disebut-namanya. Berhubung teronggok begitu saja di rumah, maka ia ingin memberikannya kepada kami supaya bisa bermanfaat. Selama sekitar satu jam mereka berdua bertamu dan suara tarhim yang berkumandang di langit Kilongan menjadi penanda bahwa mereka hendak pamit pulang. Enny berkata kepada saya bahwa ia siap menyampul buku-buku lagi bilamana diperlukan. Saya mengucapkan terima kasih atas tawarannya dan pemberian yang berharga ini dan, bersama istri, melepas kepergian kedua perempuan muda tersebut. Setelah mereka berdua pulang, saya baru teringat kalau pertemuan sore ini belum didokumentasikan. Ah, bodohnya saya sampai lupa dengan hal sepenting ini.

Adzan Maghrib dari masjid Muspratama sudah berkumandang. Saya melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu mengenakan baju koko dan berjalan ke masjid. Berhubung pak Soleh dan pak Heri tidak nampak, sedangkan pak Utin yang saat itu mengenakan kaos bola sudah bertugas sebagai muadzin, maka saya maju ke mimbar untuk menjadi imam. Selesai Maghrib dan berdoa, saya dan jamaah lain saling bersalaman. Ketika bersalaman, saya menangkap sekilas wajah seseorang yang saya kenal berdiri di balik pilar. Ternyata benar, itu akh Iksan. Ia tersenyum dan menghampiri saya. Kami lalu berlebaran dan berbasa-basi sebentar. Saya bertanya ada gerangan apa dia datang ke masjid ini dan Iksan menjawab bahwa ia sedang mengantarkan seseorang sambil menyorongkan dagunya ke sudut masjid. Saya melihat ada Apin yang mengenakan jersey Turki dan seorang lelaki berjenggot dan berpeci sedang bersiap untuk shalat. Saya memicingkan mata sebentar untuk mengamati wajah lelaki itu dan mulai mengenali sosoknya. Beliau adalah akh Amri, mantan ketua DPP PKS Kabupaten Banggai Kepulauan periode, errrrr saya lupa, dan sekarang sudah menjadi seorang PNS di Banggai (sekarang jadi kabupaten Banggai Laut). Iksan, Amri dan Apin lalu shalat berjamaah sementara saya, pak Utin, pak Sofyan, dan om Puri mengobrol sebentar, membahas rencana pembukaan TPA di masjid ini dan membicarakan tetek bengek kecil tentang peralatan masjid.

Ketiga kawan saya yang datang terlambat itu tampaknya sudah selesai shalat. Saya lalu meminta diri kepada jamaah lainnya yang masih mengobrol, berkata kepada mereka bahwa saya kedatangan tamu yakni tiga orang yang shalat terlambat barusan. Mereka menyilakan saya pulang. Saya lalu bersalaman kepada Apin dan Amri, menanyakan kabar dan sebagainya dan sebagainya seraya mencari tahu ada gerangan apa ketiga orang ini tumben-tumbennya datang ke rumah saya. Saat kami berempat sudah ada di rumah (istri) saya, ternyata kedatangan mereka bertiga adalah hendak bersilaturahim. Saya merasa agak sedikit tidak enak khususnya kepada Amri dan Iksan karena usia saya yang jauh lebih muda dari mereka berdua tapi justru saya yang didatangi. Amri bercerita sedikit bahwa ia baru saja pulang dari Makassar tadi pagi dan sambil menunggu kapal ke (pulau) Banggai yang akan berangkat malam ini, ia menyempatkan diri untuk berkeliling sebentar kepada teman-temannya di Luwuk. Kedatangannya ke rumah saya ternyata menyimpan misi khusus. Tapi saya tidak akan tuliskan soal itu di sini hehe..

Di rumah saya yang tak memiliki sofa, kami berempat duduk melantai sambil menikmati kue kering dan peyek kacang. Kami berbincang banyak tentang perkembangan situasi politik di daerah ini, tak ketinggalan juga riuh-rendah saat perhelatan pilpres yang baru saja selesai – meski sampai detik ini masih akan berlanjut entah sampai kapan, dan tema-tema bebas lainnya, termasuk tentang buku-buku yang berjejer di lemari buku saya yang ada di ruang tamu. Iksan dan Apin adalah pengurus DPD PKS Kabupaten Banggai yang terlibat secara langsung sebagai tim saksi pasangan Prabowo-Hatta untuk wilayah ini tempo hari, dan darinya saya mendapatkan beberapa informasi menarik terkait sunyi-senyapnya kiprah saksi PKS di daerah-daerah karena sangat sedikit dari mereka yang mendokumentasikan kiprahnya dalam bentuk tulisan. Saya memberikan masukan kepada teman-teman di PKS bahwa sesibuk apapun mereka, maka sempatkanlah untuk menulis. Tulis apa saja yang ringan-ringan, termasuk juga rekaman tentang kiprah mereka di dalam partai selama ini. Terlalu banyak orang yang sok tahu tentang partai ini berbicara seenak dengkul mereka di media yang lebih banyak ngaconya ketimbang benarnya, sementara orang-orang PKS sendiri yang berada dalam pusaran aktivitas tak banyak yang menuliskan apa yang sudah mereka kerjakan selama ini kepada khalayak umum. “Cobalah buat tulisan yang ringan, tentang sisi humanis teman-teman saksi dari PKS, bagaimana lelahnya mereka bekerja demi menjaga satu dua suara, bagaimana mereka tetap menjaga kesehatan jasmani dan ruhiyah mereka di sela-sela kesibukan itu, bagaimana mereka tetap menjaga agar dapur keluarga tetap ngebul kendati waktu mereka habis di lapangan dan sebagainya dan sebagainya” adalah pesan-pesan yang coba saya sampaikan kepada mereka. Kebetulan, sebenarnya tidak ada kebetulan, Apin dan Iksan punya basic jurnalistik. Iksan malah pekerjaan primernya adalah wartawan sebuah media di Sulawesi Tengah dan karenanya dunia tulis-menulis bukan sesuatu yang asing dengan mereka.

Selain obrolan soal politik, kami juga mengobrol soal buku. Amri bertanya perihal spanduk yang terpasang di depan rumah dan saya berkata padanya bahwa saya berencana membuat rumah baca di sini. Ia tampak senang dengan ide saya dan mulai bercerita tentang istrinya yang, menurut redaksinya, “kuat baca buku”. Ia juga bercerita tentang tempat penyewaan buku yang ada di Banggai. Saya senang mendengar cerita seperti ini dan berpesan kepadanya agar selalu mendukung minat istrinya. “Kalau saya pergi ke luar kota yang dia minta cuma oleh-oleh buku, baik baru maupun bekas, bukan oleh-oleh lain” timpalnya kemudian.

Adzan Isya menghentikan obrolan kami malam itu. Sepanjang perjalanan menuju masjid saya melanjutkan perbincangan dengan Amri, kebanyakan hal-hal remeh. Saat saya masuk ke dalam masjid, shalat baru saja dimulai. Heri van Gobel yang bersuara emas itu menjadi imam. Tak ada pak Soleh dan pak Sofyan di barisan shaf. Amri berkata bahwa ia akan menunggu di teras karena sudah shalat jamak tadi. Selepas Isya, kami berpisah. Di depan pintu gerbang masjid yang bercat hitam, ketiga tamu saya tadi pamit. Saya mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka dan mengamati motor yang mereka tunggangi menjauh dan menikung ke jalanan yang makin menurun. Saya kembali masuk ke masjid dan mengobrol dengan Heri dan Utin. Malam ini harusnya kami bersilaturahim ke rumah pak Soleh, bersama takmir masjid, pak Sofyan. Namun kedua nama yang saya sebutkan tidak nampak shalat isya di masjid. “Mungkin sedang keluar”, kata saya kepada Utin. Kami bertiga lalu memutuskan untuk pulang ke rumah.

Sambil berjalan ke rumah, saya memandangi langit malam yang makin menggelap. Seekor kunang-kunang terbang melintasi rimbunnya pepohonan yang ada di seberang masjid. Selama nyaris dua tahun tinggal di Muspratama, baru kali ini saya melihat kunang-kunang. Ekornya yang kerlap-kerlip terbang semakin dalam ke rerimbunan yang gelap. Saya memandang pulau Peling di kejauhan. Lampu-lampu yang mengambang di atas permukaan laut tampak seperti sebuah kota. Langit malam tampak cerah. Cahaya jingga yang menyembul dari balik bukit yang menghitam berangsur menghilang. Malam itu indah sekali. [rbjendelailmu]


Luwuk, Agustus 2014 

Sabtu, 02 Agustus 2014

Program Minat Baca Jadi Prioritas Perpustakaan 2015

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Program minat baca direncanakan menjadi prioritas pembangunan perpustakaan pada 2015 sehingga masyarakat yang gemar membaca segera terwujud.
"Promosi perpustakaan dan gemar membaca menjadi tanggung jawab kita bersama bukan hanya Perpustakaan Nasional," kata Kepala Perpusnas Sri Sularsih di Jakarta, Selasa (13/5).
Karena menjadi tanggung jawab bersama, maka perlu upaya mensinkronisasikan program antara Perpusnas dengan daerah agar upaya peningkatan pemanfaatan perpustakaan dan pembudayaan gemar membaca bisa sejalan, kata Sri.

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pada Pasal 39 menyebutkan pemerintah dan pemda mengalokasikan anggaran perpustakaan dalam APBN dan APBD.
Selain itu, dalan UU tentang Perpustakaan juga menyatakan bahwa perpustakaan adalah urusan bersama berkaitan dengan pelayanan dasar. Pemerintah secara serentak diwajibkan menggalakkan promosi gemar membaca dengan memanfaatkan perpustakaan.

Lebih lanjut Sri mengatakan, langkah dan kebijakan yang disiapkan Perpusnas yaitu penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan sebagai sarana belajar sepanjang hayat.
Peningkatan ketersediaan pelayanan perpustakaan secara merata, termasuk jumlah perpustakaan dan kemudahan akses.

Peningkatan kualitas dan keberagaman koleksi perpustakaan, peningkatan promosi gemar membaca serta peningkatan kompetensi dan profesionalitas tenaga perpustakaan. Selain itu juga melakukan revitalisasi perpustakaan.

"Revitalisasi menyasar empat prioritas yaitu pengembangan e-library, perpustakaan keliling, penguatan perpustakaan umum kabupaten/kota dan pengembangan perpustakaan desa/kelurahan," katanya.

Sumber: Republika

Kamis, 31 Juli 2014

Kronik Rumah Baca: 1 Agustus 2014

Rasa-rasanya sudah lama sekali blog ini tak kunjung saya update. Padatnya kegiatan di penghujung bulan Ramadhan dan kesibukan saat berhari raya Idul Fitri membuat saya perlu sedikit mengendurkan tali kekang dalam menulis beberapa perkembangan terkait pembukaan taman bacaan ini. Padahal ada banyak sekali kejadian yang berlangsung belakangan ini yang tentu saja perlu untuk didokumentasikan. Saya lalu melihat tulisan terakhir yang saya buat di blog ini yang ternyata tertanggal 23 Juli 2014 dimana itu sudah lebih dari 9 hari yang lalu. Oleh karenanya, pada tulisan ini, saya akan mengkronik kejadian-kejadian yang berlanjung sepanjang tanggal 24 Juli sampai dengan saya menulis sekarang.

Hal pertama yang ingin saya tuliskan adalah Selamat Hari Raya Idul Fitri 1435 Hijriyah. Semoga segala ibadah yang kita tunaikan pada bulan Ramadhan yang telah lewat meningkatkan kualitas ketaqwaan kia di sisi Allah azza wa jalla. Aamiin.

Pada tanggal 24 Juli 2014, sebuah pesan datang ke handphone saya dari seorang kakak kelas bernama Achmad Syaefani. Beliau adalah salah satu pengurus Masjid Shalahuddin di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang beberapa waktu lalu saya mintai tolong untuk meneruskan proposal rumah baca ini kepada pengurus masjid. Setelah menunggu beberapa pekan dan sambil berkorespondensi melalui email, alhamdulillah bantuan yang dinanti datang juga. Dana sebesar satu juta rupiah meluncur ke rekening donasi rumah baca yang langsung saya teruskan kepada seorang penjual buku di Surabaya. Saya memang sudah berjanji kepada penjual buku itu bahwa saya akan membayar tagihannya ketika ada bantuan yang masuk ke rekening donasi kami. Maka saat bantuan dari Masjid Shalahuddin datang, saya langsung mentransfer kepada rekeningnya sebesar Rp. 1.093.000 kepadanya.

Saya mengucapkan terima kasih kepada mas Evan (demikian beliau biasa kami panggil) dan menitipkan salam terima kasih pula kepada teman-teman di Masjid Shalahuddin Kantor Pusat DJP atas bantuan dan kepercayaan mereka kepada saya seraya berjanji akan mengirimkan kabar terbaru seputar kegiatan rumah baca ini kelak.

Dua hari kemudian pada tanggal 26 Juli 2014, rumah saya di Jurangmangu kedatangan sebuah paket berupa kardus besar berisi banyak sekali buku. Paket itu adalah buku-buku yang sudah saya beli nyaris dua pekan yang lalu dari seorang penjual buku online bernama Budi. Mas Budi adalah penjual buku bekas yang sangat baik karena telah memberikan saya buku-buku bagus dengan harga sangat miring dan bahkan memberikan beberapa buku bonus kepada saya. Selain itu beliau juga mendoakan dan mensupport kesuksesan rumah baca ini agar kelak.

Pada tanggal 28 Juli 2014, saya membagikan sebuah berita di timeline facebook pribadi saya perihal perkembangan rumah baca ini. Tak seberapa lama, salah seorang teman mereply sharingan tersebut dan menyatakan bahwa beliau bersedia untuk melakukan sesuatu untuk membantu saya. Kami lalu berkorespondesi melalui whatsapp dan mengobrol tentang banyak hal. Yang membuat saya terharu dengan tawaran beliau adalah bahwa beliau siap untuk menjadi donatur tetap rumah baca ini semampu yang beliau bisa. Jujur saja, itu adalah tawaran berupa bantuan rutin pertama yang saya terima dan karenanya membuat saya jadi semakin bersemangat untuk memaksimalkan segala potensi yang ada agar rumah baca ini bisa bermanfaat bagi warga yang ada di sini. Di ujung obrolan kami melalui ujung jemari, beliau mengabarkan bahwa uang sejumlah Rp. 250.000 sudah terkirim ke rekening donasi rumah baca ini. Saya mengucapkan terima kasih kepada beliau dan berjanji untuk mengupdate perkembangan kegiatan rumah baca ini di waktu mendatang.

Pada tanggal ini pula saya berkorespondensi dengan seseorang bernama Windy Pilok. Ia adalah warga Maahas yang pernah menawarkan saya buku-buku tak terpakainya di rumah supaya bisa saya manfaatkan. Kami lalu beberapa kali bertukar pesan dan akhirnya bersepakat akan bertemu di rumahnya di Maahas pada hari Jumat 1 Agustus 2014. Saya lalu datang ke rumahnya dan menerima sekardus buku komik untuk anak-anak dan remaja darinya. Saya juga menawarinya untuk datang berkunjung ke rumah saya di Kilongan untuk melihat-lihat calon rumah baca ini. Oh iya, saya baru ingat, selain Windy, saya juga mendapatkan tiga buah buku dari Awan saat kami melakukan kopi darat Komunitas Luwuk Menulis di Masjid Agung An Nur Luwuk pada tanggal 20 Juli 2014 yang lalu. Di sela-sela obrolan kami yang ngalor-ngidul itu, ia menyerahkan tiga buah buku miliknya kepada saya untuk disalurkan ke rumah baca. Kepada Awan dan Windy saya ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya atas kontribusi mereka yang luar biasa. Semoga buku-buku yang mereka sumbangkan dapat bermanfaat.

Oh iya, pada hari Raya Idul Fitri, saya sempat berkunjung ke rumah Ustadz Iswan Kurnia Hasan dan menanyakan kepada beliau apakah buku-buku saya yang dulu pernah saya lungsurkan ke Perpustakaan MIM bisa saya ambil kembali untuk rumah baca ini, beliau menjawab boleh. Hanya saja beliau minta waktu sampai akhir pekan besok karena ada beberapa keperluan yang harus beliau selesaikan dalam beberapa hari ini. Saya menyetujui permintaan beliau dan mengucapkan terima kasih kepadanya. Sekitar tahun 2010 yang lalu saya memang sempat menyerahkan dua dus buku koleksi saya kepada perpustakaan MIM yang lokasinya ada di lantai 2 rumah beliau. Namun karena tampaknya mengakses perpustakaan itu mengandung keseganan tersendiri, saya merasa perlu membicarakan nasib buku-buku yang pernah saya lungsurkan kesana. Alhamdulillah, Ustadz Iswan adalah orang yang sangat open minded dan beliau menyetujui permintaan saya tersebut.

Dalam beberapa hari belakangan ini, saya dan istri kerap berdiskusi tentang waktu yang tepat untuk melaunching rumah baca ini. Dalam obrolan-obrolan lepas saat beranjang-sana, saya juga disarankan untuk mengundang Bupati dan atau Wakil Bupati serta pejabat terkait lainnya. Saya memang ingin menumbuhkan kesan tersendiri saat rumah baca ini diresmikan kelak dan sedang memikirkan beberapa teknis terkait acara launching tersebut. Oleh karenanya, saya merasa perlu untuk menyingkronkan agenda pribadi saya dengan agenda launching tersebut agar tidak saling bertabrakan dan memungkinkan semua stakeholder yang ada bisa turut ambil bagian. Di dalam kepala saya sudah terbayang adegan-adegan yang akan muncul di acara launching tersebut dan karenanya membuat semangat saya serasa bergolak. Namun khusus di bagian ini akan saya kronik di tulisan yang selanjutnya, insya Allah. Karena saya merasa perlu menjaring suara-suara dari para tetangga yang tenaganya pasti akan saya sangat butuhkan. Itulah sebabnya, saya mengagendakan pertemuan dengan para tetangga untuk mensosialisasikan gagasan ini dalam level yang lebih personal sehingga dapat memancing inisiatif mereka untuk turut mensukseskan gerakan ini. Karena bagaimanapun, ini adalah gerakan yang ingin saya bawa ke tingkatan yang lebih massif dan karenanya saya ingin membangkitkan potensi-potensi yang berserak itu untuk muncul ke permukaan.

Terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu gerakan ini, baik secara moral maupun material, termasuk dukungan dan doa yang sangat berharga. Insya Allah catatan ini akan saya lengkapi di kesempatan mendatang. [rbjendelailmu]

Luwuk, Agustus 2014 

Selasa, 22 Juli 2014

Kronik Rumah Baca: 23 Juli 2014

Kronik berikut ini awalnya tidak seperti ini. Awalnya saya menulis “begitu” tapi akhirnya saya berubah pikiran dan menggantinya menjadi “begini”. Namun berhubung yang tahu begitu dan begininya hanya saya, maka anggap saja tulisan ini akan jadi begini. Singkat cerita, saya mau sedikit mendokumentasikan hasil pertemuan saya dengan beberapa orang dalam dua hari terakhir terkait sosialisasi Rumah Baca Jendela Ilmu yang detik-detik kelahirannya serasa makin mendekat saja.

Pada hari Senin (21/7) pagi kemarin, saya bertandang ke rumah seorang teman. Hasil pertemuan itu sudah saya kronik di sini. Saya sepertinya agak terburu-buru saat mengkronik bagian itu karena ternyata di hari yang sama saya juga bertemu dan berbincang dengan beberapa orang lainnya. Oleh karenanya, tulisan berikut ini akan melengkapi tulisan yang sudah saya buat sebelumnya itu ditambah dengan beberapa perkembangan lainnya yang berlangsung dalam dua hari terakhir.

Setelah dari rumah Nia, saya lalu ke kantor. Tidak banyak yang saya lakukan di kantor hari itu selain membaca koran pagi di ruangan sekretaris, membalasi beberapa pesan di Facebook, melengkapi konten blog ini, dan kegiatan-kegiatan ringan lainnya. Sekitar jam 11 siang, saya keluar kantor. Saya mengarahkan mobil ke jalan Pelita. Cuaca agak gerimis waktu itu. Rencananya saya mau mengantar proposal ke seorang teman yang bekerja di Pegadaian, Devi. Saya memang sudah berjanji dari jauh-jauh hari untuk mengantarkan proposal itu kepadanya. Tapi karena satu dan lain hal, saya baru sempat untuk mengantarnya hari itu. Setiba di depan kantor Pegadaian di Pelita saya lumayan gondok ketika tahu bahwa tas kain berwarna hitam berisi proposal ternyata tertinggal di kantor. Padahal awalnya saya kira tas itu sudah ada di jok belakang. Namun karena saya kurang teliti dan tidak memeriksa dahulu sebelum berangkat, saya lalu kembali ke kantor untuk mengambil tas itu di ruangan sekaligus shalat zhuhur di mushala kantor. Sebelum zhuhur, saya menyempatkan diri untuk memeriksa facebook, ternyata ada satu pesan. Dari Devi. Ia bertanya apakah tadi saya memarkir mobil di depan kantornya, saya jawab iya. Dan saya ceritakan masalah yang sebelumnya sudah saya tuliskan di atas perihal tas yang tertinggal. Saya berjanji akan lewat di kantornya lagi sekitar jam setengah dua atau jam dua. Karena saya berencana untuk mampir ke rumah Ustadz Iswan yang tak jauh dari situ.

Sekitar jam setengah dua siang, saya kembali ke luar. Kali ini saya kembali ke jalur yang sebelumnya sudah saya lewati: Jalan Pelita. Cuaca di Luwuk hujan gerimis. Saat saya memarkir mobil di sisi jalan, saya melihat Ilham, teman sekantor dari seksi Eksten, sedang berteduh di samping kantor Pegadaian. Saya menyapanya dan spik-spik sebentar. Setelah itu saya masuk ke kantor Pegadaian dan menyerahkan proposal Rumah Baca Jendela Ilmu kepada Devi. Pertemuan itu sangat singkat. Saya hanya melungsurkan proposal itu kepadanya dan langsung berpisah. Sepertinya dia sedang sibuk jadi saya nggak mencoba untuk membuka dialog lebih banyak. Padahal saya selalu membuka dialog saat menyerahkan proposal kepada siapapun.

Keluar dari kantor Pegadaian, saya menelepon Teh Rela, menanyakan apakah Ustadz Iswan sudah datang dari Palu. Kalau ada, saya berencana untuk bertemu dengan beliau, ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan. Teh Rela bilang bahwa Ustadz baru saja pulang dan sedang beristirahat. Saya mengurungkan niat untuk bertandang ke rumah Ustadz dan menunda pembicaraan yang sudah saya siapkan. Saya menggeser layar handphone, menelepon seorang teman yang dulu pernah saya ajak diskusi soal dunia minat baca di sebuah masjid di kelurahan Mendono, kecamatan Kintom: mas Agus.

Mas Agus ini orang Jawa, tapi dapet istri orang lokal. Sama seperti saya. Beliau bekerja di Bank Syariah Mandiri (BSM) Luwuk. Saya tidak ingat kapan kali bertemu dengan beliau, mungkin sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Mas Agus ini orang periang dan sangat ramah. Kami sempat mengobrol sampai berjam-jam waktu di masjid Mendono tempo hari. Ketika itu saya berjanji untuk kembali bertemu dengannya untuk menyampaikan proposal dari rumah baca yang saya gagas. Beliau menyetujui dan menunggu.

Siang itu, saya meneleponnya, menanyakan apakah beliau sedang sibuk atau tidak, dan apakah saya bisa mampir sebentar di kantornya berhubung saya sedang ada di luar sekarang. Beliau, dengan keramahannya yang tulus, menyilakan saya datang. Saya lalu memutar mobil ke arah jalan Urip Sumoharjo dan mencari spot parkir yang cocok. Saat masuk ke dalam kantor BSM, saya berkata kepada satpam yang berjaga di pintu masuk bahwa saya ingin bertemu dengan pak Agus. Satpam itu lalu masuk ke dalam ruangan. Beberapa detik kemudian ia kembali kepada saya dan menyilakan saya masuk ke ruangan itu. Suasana di lobi BSM lumayan ramai. “Ada pencairan gaji 13 pegawai pemda”, kata mas Agus kepada saya saat kami berbincang di telepon beberapa menit lalu.

Masuk ke ruangan yang hanya bisa dimasuki pegawai BSM itu saya lalu berbelok ke kanan. Tampak mas Agus sedang duduk di sana dan menyambut saya dengan senyum lebar. Kami berbasa-basi sejenak dan mengingat-ingat kembali tentang obrolan tempo hari saat di masjid Mendono. Mas Agus menyatakan dirinya bahwa beliau siap membantu Rumah Baca ini dan beliau bersedia untuk menyebarkan informasi ini kepada kenalan-kenalannya, termasuk teman-temannya di BSM. Kami mengobrol lumayan banyak sambil sesekali tertawa lepas. Ruangan yang padat itu jadi ramai karena suara obrolan dan tawa kami. Saat saya hendak berpamitan, seorang pegawai pemda berbaju hijau tua datang untuk menemui mas Agus yang justru makin mempermudah saya untuk minta diri dari situ. Saya mengucapkan terima kasih kepada mas Agus atas penerimaannya yang hangat .

Dari BSM, entah kenapa, saya ingin pulang. Sampai di rumah, firasat saya ternyata benar, mobil Kijang Innova bercat abu-abu milik tetangga saya sudah terparkir di depan rumah. Saya lalu memasukkan mobil di garasi dan berjalan ke rumah yang jaraknya dari rumah saya hanya dipisahkan dengan satu rumah saja. Itu adalah rumah keluarga istri saya, ibu Masnawati Muhammad. Kami biasa memanggilnya Mak Pena, atau Tante Sau, atau Da’a. Saat gerbang berwarna hitam di rumah ibu Masnawati telah tampak, saya melihat suaminya, kami biasa memanggil beliau Om Peki atau Pak Pena, keluar dari dalam rumah. Saya bertanya apakah ada Mak Pena di rumah, beliau bilang ada dan menyilakan saya masuk. Menenteng tas kain berwarna hitam, saya masuk lewat pintu samping yang terbuka lebar, mengetuk pintu dan menguluk salam. Ibu Masnawati keluar dari kamarnya. Ia berkata bahwa ia baru saja sampai. Saya bilang kebetulan sekali karena saat saya melihat mobil Innovanya terparkir, saya langsung bergegas ke rumah ini untuk suatu keperluan.

Dari raut wajahnya, saya bisa menduga bahwa beliau sudah tahu maksud kedatangan saya siang menjelang sore itu. Oh iya, saya lupa menyebutkan bahwa Ibu Masnawati ini adalah anggota legislatif DPRD Kabupaten Banggai dari PPRN. Pada pemilu legislatif bulan April kemarin, beliau kembali terpilih lewat partai yang berbeda: Gerindra. Beliau masih ada hubugan keluarga dengan istri saya dari pihak ibu. Singkat cerita, saya mengobrol banyak dengan beliau. Saya mengutarakan keprihatinan saya terhadap kondisi anak-anak di komplek BTN ini dan mengajaknya untuk turut serta mengatasi persoalan yang ada di sini. Saat saya mengeluarkan proposal, beliau hendak meminta diri untuk masuk ke kamar, mungkin untuk mengambil uang, tapi, dengan segala hormat, saya langsung mencegahnya. Saya ingin mengajaknya berdiskusi dulu sebelum saya meminta kesediaannya untuk membantu usaha ini.

Ketika saya bersilaturahim dengan beberapa orang untuk menyampaikan proposal Rumah Baca Jendela Ilmu, saya tidak ingin sekedar menyerahkan beberapa lembar kertas warna-warni terjilid yang berisi permohonan bantuan, baik dana maupun barang lainnya, tapi juga sebagai momen untuk berdiskusi, berbagi keprihatinan akan kondisi anak-anak di Luwuk yang kurang mendapat perhatian dari masyarakatnya dalam hal minat baca mereka, serta mengajak semua elemen masyarakat untuk turun tangan dan berkontribusi riil demi menciptakan masyarakat yang lebih terstruktur dan lebih baik di masa depan.

Saya percaya, semua anak, siapapun mereka, punya hak yang sama untuk dapat menjalankan masa tumbuh-kembang mereka secara optimal dan terarah, serta mendapatkan pendampingan yang memadai dari para orangtua dan elemen masyarakat lainnya yang memiliki kepentingan dan masih menyimpan kepedulian serta optimisme akan masa depan kolektif daerah ini di masa mendatang. Hal inilah yang menjadi topik diskusi kami siang itu. Saya memintanya untuk menyimpan proposal itu dan menyerahkan kepada beliau kira-kira bantuan dalam bentuk apa yang tepat untuk mendukung usaha itu yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang anggota legislatif.

Selain bertemu dengan empat orang tersebut, pada hari Selasa (22/7) saya juga bertemu dengan teman saya yang bernama Mhono. Ia punya bakat menggambar komik yang sangat bagus. Berkat saran dari teman saya yang lain di Facebook, Mas Ichang, saya memintanya datang ke Masjid Agung jam 1 siang untuk membahas beberapa hal terkait rencana pembuatan brosur rumah baca. Siang itu kami juga mengobrol banyak tentang dunia komunitas di Luwuk dan tentang hal-hal ringan lainnya.

Tulisan ini sebenarnya hendak saya buat semalam. Tapi karena sudah terlalu mengantuk, saya akhirnya langsung tertidur sekitar pukul 9 malam. Sepertinya kronik kali ini lumayan panjang. Semoga pembaca tidak jatuh bosan karenanya. Tabik! [rbjendelailmu]



Luwuk, Juli 2014 

Senin, 21 Juli 2014

Buku Baru Datang: 21 Juli 2014

Siang ini (21/7) saya kedatangan paket dari Denpasar berisi buku-buku sejarah obralan yang saya pesan dari seorang kaskuser sekitar sepekan lebih yang lalu. Sebenarnya ada satu judul buku lagi yang belum sempat terkirim oleh sang seller karena satu dan lain hal. Namun kami sudah bersepakat bahwa dia akan segera mengirimkannya setelah urusannya selesai.

Berikut judul-judul buku yang datang tadi siang:


  1. Perjalanan Prajurit Para Komando karangan Sintong Panjaitan terbitan Kompas
  2. Pembersihan Etnis Palestina karangan Ilan Pappe terbitan Elex Media
  3. Saya Tidak Pernah Minta Ampun Kepada Suharto Sebuah Memoar karangan M. Jassin terbitan Pustaka Sinar Harapan
  4. ATLANTIS : The Lost Continent Finally Found karangan Prof. Arysio Santos terbitan Ufuk
  5. Perang Napoleon di Jawa karangan Jean Rocher terbitan Kompas
  6. Memoar Seorang Eks Digulis karangan Mohamad Bondan terbitan Kompas
  7. Legiun Mangkunegaran karangan Iwan Santosa terbitan Kompas
  8. Pak Harto The Untold Stories karangan Tim Penulis terbitan Gramedia


Buku-buku di atas saya beli setelah mendapatkan sumbangan dari seorang teman. Semoga dapat bermanfaat untuk rumah baca ini. Terima kasih. [rbjendelailmu]



Luwuk, Juli 2014 

Minggu, 20 Juli 2014

Kronik Rumah Baca: 21 Juli 2014

Luwuk pagi hari masih dicumbui gerimis tipis dan diurapi seberkas sinar matari lemah dari balik awan kelabu. Bukit We tampak mendongak ke langit abu-abu sementara saya sedang berusaha memarkir mobil saya di samping sebuah tembok yang terbuat dari bata merah. Bunyi gemiricik air dari Kuala Mangkio yang sempit menjadi satu-satunya suara di situ. Setelah melewati jembatan kecil yang membelah kuala mini itu, saya sampai di depan sebuah rumah yang pintu depannya masih terbuka. Seorang lelaki sedang tidur di sofa ruang tamu, membelakangi pintu depan. Saya mengetuk pintu rumah dan menguluk salam dengan suara keras. Seorang lelaki lainnya keluar dari dalam dan menyilakan saya masuk. Ia kembali ke dalam dan terdengar suaranya sedang memanggil orang yang hendak saya temui pagi itu.

Orang itu lalu keluar. Seorang perempuan berjilbab lebar dan baju terusan bermotif batik. Perutnya semakin membuncit tanda hari kelahiran buah hati pertamanya semakin dekat. Ia lalu membangunkan lelaki yang sedang tidur di salah satu sofa, yang ternyata adalah adiknya itu, agar ia bisa duduk di situ. Butuh usaha yang agak keras sebelum lelaki muda itu akhirnya bangun dan pergi ke belakang rumah, mungkin, untuk melanjutkan tidurnya yang terusik oleh kedatangan saya.

Perempuan yang ada di seberang saya itu ternyata sudah menduga kedatangan saya ke rumahnya pagi itu -- well, sebelumnya saya memang sudah meneleponnya bahwa saya akan datang ke rumahnya pagi itu hehe. Oh iya, dia bernama Firnawati Labihi. Kami biasa memanggilnya Nia. Ia adalah seorang fasilitator CSR DSLNG di desa Sinorang Pantai. Saya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kain berwarna hitam yang saya bawa. Sebuah proposal dari rumah baca yang sedang saya kelola. Nia meraih proposal itu dan mulai membacanya sementara saya memberikan beberapa penjelasan terkait rencana saya membuat rumah baca yang menjadi konten utama proposal itu. Saya, entah kenapa, memiliki keyakinan bahwa Nia adalah sosok yang tepat untuk proyek ini.

Obrolan kami berkembang. Nia ternyata sempat punya keinginan untuk membuka taman bacaan di rumahnya. Ia merasa prihatin dengan kondisi anak-anak di lingkungannya yang hanya mengisi waktu luangnya dengan bermain tanpa arah dan minim perhatian dalam hal pendidikannya. Kami berdua ternyata punya keprihatinan yang sama karena ternyata di masa lalu ia pernah ditanya oleh sebuah perusahaan tempatnya bekerja tentang keberadaan taman bacaan di kota Luwuk yang nyatanya ketika itu masih belum ada. Oleh karenanya, saya mengajaknya untuk mendukung rencana rumah baca ini sebagai sebuah pilot project. Sehingga ketika rumah baca ini semakin berkembang dan mendapat kepercayaan yang besar dari para donatur dan stakeholder yang ada, maka bukan tidak mungkin kalau rumah baca ini akan dikembangkan menjadi cabang-cabang yang tersebar di seantero kota Luwuk. Nia tampak bersemangat dengan ide saya dan berjanji untuk menyuarakan proposal itu kepada teman-temannya di tempat kerjanya. Kami lalu memperlebar diskusi untuk memperbesar jejaring potensi yang bisa kami manfaatkan untuk turut membantu merealisasikan rencana ini. 

Keyakinan saya ternyata terbukti. Nia memang orang yang tepat untuk diajak bertukar pikiran tentang hal ini. Responnya yang bersemangat menjadikan saya makin bersemangat untuk mengelola rumah baca ini secara maksimal dan profesional supaya manfaatnya bisa dirasakan oleh lebih banyak orang, suatu hari nanti, insya Allah. Saya berpamitan kepadanya seraya menitipkan semangat itu untuk kepada orang lain yang punya kepedulian dengan dunia pendidikan di kota ini. Suara gemericik air dari kuala Mangkio dan gerimis tipis yang menyelimuti jalanan kota ini menemani langkah saya menuju tempat mobil saya terparkir. Semoga ada kabar baik. Amin. [rbjendelailmu]



Luwuk, Juli 2014

Sabtu, 19 Juli 2014

Pemasangan Semacam Spanduk Sosialisasi

Sekitar dua hari yang lalu (18/7), kami memasang spanduk ini di depan rumah yang juga akan menjadi lokasi Rumah Baca. Spanduk itu sengaja kami pasang sebagai pra kondisi sekaligus untuk mensosialisasikan kepada para tetangga kami di komplek BTN Muspratama tentang rencana pembukaan taman bacaan ini. Yang merespon spanduk itu memang belum banyak, karena cuaca di Luwuk akhir-akhir ini sedang sering hujan sehingga orang-orang lebih memilih berdiam di rumah ketimbang jalan-jalan keluar, tapi ada juga satu dua yang bertanya dan memberikan respon. [rbjendelailmu]



Luwuk, Juli 2014  

Jumat, 18 Juli 2014

Kronik Rumah Baca: 19 Juli 2014

Suasana kantor kelurahan Kilongan Permai tampak sepi. Hanya ada dua buah sepeda motor yang terparkir di pelatarannya. Saya memarkir mobil di depan pintu masuk kantor, mengambil map hijau di dashboard, dan masuk ke dalam kantor. Seorang ibu paruh baya sedang duduk di ruang depan kantor yang berukuran mungil dan disesaki dengan dua buah meja besar dan beberapa kursi itu. Usai menguluk salam, saya bertanya apakah saya bisa bertemu ibu Erlin. Ibu itu tersenyum dan berkata bahwa dialah Erlin yang saya cari.

“Oh, bapak ini yang tadi dibilangnya pak lurah mau datang ke kantor buat minta stempel?” tanyanya. Saya mengiyakannya. Ibu Erlin menyilakan saya duduk sementara ia mengambil sebuah wadah berisi alat tulis, kertas-kertas, dan stempel sekaligus bantalannya.

Saya menyorongkan secarik kertas kepadanya, mengambil kursi plastik yang ada di dekat situ dan duduk. Sambil duduk, saya memandangi lingkungan sekitar kantor kelurahan yang sangat tenang. Bahkan saking tenang dan sepinya, kantor ini pernah kebobolan maling beberapa bulan yang lalu.

“Laptop, komputer, dan perlengkapan elektronik lainnya hilang semua”, aku ibu Erlin sambil membaca-baca kertas yang saya serahkan kepadanya. Saya memandang kota Luwuk yang tersembunyi di balik lekukan bukit dari ruang depan kantor yang menyajikan pemandangan ke arah lautan itu. Ibu Erlin bertanya kepada saya soal alasan kedatangan saya. Ia hanya diberitahu oleh atasannya bahwa nanti akan ada orang yang minta dibuatkan surat keterangan dari kelurahan sekaligus meminta stempel dokumen sehingga nanti atasannya itu akan menandatangani dokumen itu di rumahnya saja. Saya bercerita tentang alasan kedatangan saya, termasuk tentang rencana saya membuat rumah baca di atas (BTN Muspratama). Selain ibu Erlin, ikut nimbrung pula dua orang ibu pegawai kantor kelurahan itu. Mereka mengapresiasi rencana saya itu dan akan sangat senang jika rumah baca tersebut kelak beroperasi.

Setelah berbincang agak banyak, ibu Erlin meminta diri untuk ke ruangan sekretaris lurah sambil membawa beberapa kertas, termasuk secarik kertas yang tadi saya berikan. Tak sampai seberapa lama, seorang lelaki paruh baya keluar dari ruangan di bagian belakang, sepertinya beliau adalah sekretaris lurah yang baru saja ditemui ibu Erlin, dan berjalan ke ruangan yang ada di bagian depan. Suara tak tik tak mesin ketik mewarnai siang yang hening itu. Sambil menunggu surat keterangan yang saya minta selesai diketik, saya memandangi dinding kantor yang ditempeli papan informasi. Selain papan berisi struktur kantor kelurahan, ada dua papan di bagian depan kantor ini, yang ada di hadapan saya, yang berisi profil dan monografi kelurahan Kilongan Permai secara umum. Papan informasi yang dibuat seadanya itu memuat aneka informasi yang sebenarnya bisa sangat berguna untuk kemajuan daerah. Namun entah kenapa, saya yakin kalau informasi yang tertulis di papan itu tidak pernah diperbarui.

Keyakinan saya terbukti saat saya bertanya kepada salah satu ibu pegawai kantor kelurahan yang sedang menghitung uang di situ seperti tentang jumlah anak-anak usia SD dan SMP yang ada di Muspratama, jumlah keluarga kurang mampu yang ada di Muspratama, dan pertanyaan-pertanyaan empirik lainnya.

Saat mata saya menelusuri tulisan-tulisan yang tercantum di papan itu satu demi satu, saya tidak menemukan fasilitas publik bernama perpustakaan di sana – well, saya tidak akan terkejut. Saya juga tidak menemukan ada komunitas taman bacaan di sana. Padahal, kalau saya tidak khilaf, di kelurahan Kilongan Permai ini ada banyak sekolah. Mulai dari MIN 9, SDN Muspratama, PAUD Muspratama, PAUD Nusagriya, SMP 6, dan Pesantren DDI. Dari konfigurasi yang ada seperti itu saja, sebenarnya sudah bisa ditebak berapa kira-kira jumlah anak usia SD-SMP yang tinggal di daerah itu. Saya lalu bertanya kepada ibu Erlin, apakah di daerah ini pernah ada komunitas taman bacaan yang dijawabnya dengan tidak ada – sekali lagi saya tidak terkejut.

Bunyi hentakan mesin ketik masih meramaikan siang menjelang sore yang hening di kantor kelurahan tersebut. Seorang ibu pegawai kelurahan yang berusia agak muda bertanya kepada saya tentang hal-hal teknis seputar taman bacaan yang akan saya kelola. Saya menjawab pertanyaan ibu itu dengan sebaik-baiknya dan ia pun berjanji akan mampir ke taman bacaan itu suatu hari nanti. Ia merasa senang dan mendoakan keberhasilan untuk usaha saya itu. Ibu itu juga meminta lembar pengesahan yang saya bawa untuk distempel dan ditandatangani lurah supaya ia bisa menuliskan nama dan NIP pak lurah di situ. Saya berterima kasih atas bantuannya.

Beberapa menit kemudian, suara mesin ketik berhenti. Pak sekretaris lurah memanggil ibu Erlin dan ia kembali ke ruangannya di belakang. Ibu Erlin lalu menyerahkan kertas yang baru saja diketik itu kepada saya untuk diperiksa. Saya menyetujuinya dan ibu Erlin langsung menomori dan menstempelnya. Ibu muda yang tadi banyak bertanya kepada saya tampak masih menulis di lembar pengesahan. Beberapa menit kemudian, kedua ibu itu sudah menyelesaikan pekerjaannya. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka semua dan meminta diri untuk ke rumah pak Baharullah dan meminta tanda-tangannya.

Sekitar tujuh belas menit kemudian, saya sampai di kantor. Saya memarkir mobil dan mencari-cari satpam untuk meminjam motor. Pos satpam kosong. Saya masuk ke lobi kantor. Mas Is, satpam kantor saya, sedang duduk di salah satu sofa. Saya lalu meminjam motornya. Ia langsung bangkit dan mengajak saya berjalan ke pos. Setelah membuka pintu pos, ia membawa seutas kunci dan menempatkannya di motor.

“Mau ke Jole, mas Is”, kata saya yang dibalasnya dengan anggukan dan senyuman. Saya berterima kasih kepadanya dan langsung berlalu. Di Jole, saya sudah ditunggu oleh pak Baharullah yang sedang duduk di ruang tamunya sambil membaca koran. Masih berseragam kerja, beliau bertanya tentang beberapa hal seputar surat keterangan yang dibuat oleh anak buahnya. Saya menyerahkan map berwarna hijau berisi kertas-kertas yang akan ditandatanganinya itu kepadanya. Beberapa detik kemudian, beliau selesai membubuhkan tanda-tangannya. Saya pamit dan segera meluncur ke tukang fotokopi di perempatan lampu merah Karaton untuk menjilid proposal yang sudah lengkap itu. Dengan demikian, petualangan saya hari itu telah selesai. Semoga semua pihak yang telah memudahkan semua urusan saya hari ini mendapatkan sebaik-baik balasan dari Allah swt. Amin. [rbjendelailmu]



Luwuk, Juli 2014