Kamis, 26 Juni 2014

Tentang Mimpi dan Realita

Sebuah kabar gembira datang dari beberapa penjuru dalam beberapa hari belakangan ini. Penjuru pertama berasal dari grup whatsapp alumni STAN angkatan tahun 2003, dimana saya juga tergabung di dalamnya, yang bersedia untuk memberikan bantuan untuk rumah baca yang sedang saya rintis. Penjuru selanjutnya berasal dari pengelola FS Peduli, bu Dhew, dan seorang kakak kelas di STAN, yang juga pengurus masjid Shalahudin di Kantor Pusat DJP, yang, katakanlah, memberikan angin segar untuk proposal pengadaan buku dan bahan bacaan lainnya yang sekarang sedang saya susun.

Penjuru ke tiga berasal dari dua orang teman di Facebook saya, om Dedy dan mas Ganang, yang berniat untuk mendonasikan koleksi buku-buku tak terpakainya kepada saya. Khusus untuk penjuru ke tiga ini saya masih membicarakan perihal teknis penyaluran bukunya kepada kedua teman saya tersebut. Semoga ada kabar baik.

Penjuru ke empat berasal dari grup Bursa Kolektor Parma. Saya sedang mengadakan lelang amal salah satu koleksi jersey Parma saya di grup itu dan semoga saja ada respon yang positif dari teman-teman di sana. Penjuru selanjutnya berasal dari salah satu grup whatsapp yang saya ikuti dimana salah satu membernya bersedia meneruskan proposal rumah baca kami ke beberapa penerbit di Jakarta.

Dari semua kabar baik yang menggembirakan dan menyemangati itu, ada juga kabar-kabar yang membuat saya tetap menjejakkan kaki di bumi. Semacam rambu yang membuat saya tetap ingat dengan eksistensi jiwa dimana ide besar ini akan tetap berdenyut dan tumbuh berkembang di masa depan. Di antara rambu-rambu tersebut adalah rendahnya minat baca di masyarakat. Istri saya bercerita kepada saya tentang usahanya menyampaikan ide rumah baca ini di forum arisan ibu-ibu yang diikutinya dan responnya ternyata cukup senyap. Mungkin momen saat menyampaikannya yang kurang tepat. Seorang ibu mengatakan bahwa dulu pernah ada perpustakaan di SD Muspratama yang hanya ramai beberapa saat saja tapi setelah itu sepi. Saya menggali cerita itu dan mendapatkan banyak sekali masukan tentang bagaimana cara saya untuk mengelola rumah baca ini ke depannya, di antaranya adalah soal koleksi buku yang beragam dan kegiatan yang tidak monoton. Saya juga diingatkan oleh seorang teman di facebook agar tak hanya terpaku pada buku bacaan saja, tapi juga pada kegiatan lain yang memungkinkan sebuah komunitas pembaca bisa bertahan dan berkembang melalui diversifikasi program dan juga kegiatan-kegiatan produktif lainnya. Mendapatkan rambu-rambu semacam ini, bukannya kendur, saya malah jadi bersemangat karena tantangan yang akan saya hadapi sudah jelas seperti apa bentuk-bentuknya.

Memang harus begitu. Ide yang berada di awang-awang harus dikaitkan dengan benang realita yang membuatnya tetap menjejak di bumi. Namun di luar itu semua, nyawa dari sebuah mimpi, bagi saya, adalah keyakinan yang kuat bahwa mimpi itu bisa diwujudkan. Saya tidak sedang menafikan posisi Tuhan di sini, tidak. Saya sedang menanamkan keyakinan di dalam hati saya bahwa saya insya Allah bisa mewujudkan mimpi ini menjadi nyata. Saya ingin menanamkan sebuah keyakinan dalam diri saya bahwa lebih baik saya mencoba dan saya gagal ketimbang menyesal karena gagal mencoba.

Karena Jackson Brown Jr., salah seorang penulis kenamaan Amerika pernah berkata, “Twenty years from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor. Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover.

Bismillahi tawakkaltu ‘alallah. [rbjendelailmu]

Luwuk, Juni 2014 

Selasa, 24 Juni 2014

Semacam Upaya Membunuh Kemalasan

Malam itu saya menghadap lemari buku saya yang baru saja dicat dan direparasi ulang. Lemari yang merupakan pemberian dari ibu mertua saya itu awalnya sangat buruk. Sudah layak dibuang sebenarnya. Namun berkat kerja keras sepupu istri saya, Anto, dan kakak ipar saya, Pian, lemari itu tampak bersih, kering, dan layak dipakai. Sekarang lemari itu sudah ditempatkan di ruang tamu rumah kami yang mungil menggantikan lemari (serbuk) kayu saya yang baru saya beli sekitar enam atau tujuh bulan yang lalu.

Mata saya menjelajah ke deretan buku yang saling berjejalan di sana sembari merayapi sampul bagian sampingnya yang mendongak ke arah saya dengan ujung-ujung jari saya. Setelah puas menjelajah ke sana dan kemari, pandangan saya akhirnya jatuh pada sebuah buku lama, well sebenarnya tidak terlalu lama juga, yang berjudul Room To Read. Buku itu saya beli di bandara Sultan Hasanuddin sekitar empat tahun yang lalu sepulang dari acara rekonsiliasi di Kanwil Pajak Manado. Saya lalu mengambil buku itu dan menimang-nimangnya. Covernya sudah lecek karena dibuat mainan oleh anak-anak saya, ada banyak coretan di sini dan di sana. Saya lalu membaca beberapa halaman dari buku itu dan teringat dengan kali pertama saya membaca buku ini empat tahun yang lalu.

Bandara Sultan Hasanuddin masih dalam masa renovasi waktu itu. Hiruk-pikuk calon penumpang meramaikan suasana. Seorang turis asing bertubuh tegap berjalan tergesa-gesa sambil melihat arloji di tangannya. Sambil menunggu pesawat yang akan kami tumpangi ke Luwuk boarding, saya mampir ke sebuah toko buku yang ada di situ dan membeli buku tersebut. Setelah membayar ke kasir, saya lalu berjalan ke gate tempat saya akan menunggu pesawat untuk membaca buku itu dan hanyut dengan penuturan John Wood perihal usaha filantropinya untuk mengentaskan buta huruf di dunia ketiga. Tak sampai sepekan, buku itu saya khatamkan. Saya sempat membuat ulasan singkatnya waktu itu, namun filenya hilang paska laptop antik saya rusak (oke, ini alasan yang sering saya tulis belakangan ini). Paska membaca buku itu, saya pun tergerak untuk melakukan sesuatu terkait dengan buku. Saya tentu belum pada level se-ekstrem yang dilakukan oleh John dengan keluar dari tempat kerjanya lalu blusukan ke negara-negara dunia ketiga untuk membangun sekolah dan perpustakaan di sana, tentu saja. Situasi finansial saya juga tidak sementereng John yang alumnus perusahaan dotcom terbesar sejagat raya bernama Microsoft, dan segala keterbatasan lainnya. Tapi saya tetap ingin melakukan sesuatu. Sesuatu yang sederhana dan masih dalam ruang lingkup lokal. Saya hanya ingin menularkan semangat membaca bagi lingkungan saya tempat saya tinggal saat ini: Luwuk. Seiring berjalannya waktu dan berubahnya prioritas, dan karena keterbatasan-keterbatasan yang ada, niat itu pun menguap, dan terlupakan.

Saat ini, empat tahun kemudian, saya kembali memutuskan untuk membaca buku itu sampai tamat. Ada perasaan yang berbeda saat kali pertama membacanya dengan saat ini. Di samping jumlah keluarga kami yang sudah cukup berkembang dengan hadirnya putri ketiga dan mamak kandung saya di rumah, kami sekarang tinggal di rumah istri saya yang sudah saya rombak total hingga nyaman ditempati. Saya tidak mengatakan bahwa kondisi kami sudah jauh lebih baik dan lebih stabil ketimbang kondisi kami empat tahun yang lalu, tidak. Hanya saja, dengan bergabungnya saya ke dalam sebuah komunitas masyarakat tempat saya tinggal saat ini, saya kerap bertanya-tanya, kontribusi apa yang bisa saya lakukan untuk mewarnai lingkungan ini dengan hal-hal yang positif.

Saya mungkin bukan orang terbaik untuk melakukan hal-hal yang baik, tapi saya punya niat untuk melakukan hal-hal yang baik itu terlepas dari segala kekurangan yang ada pada diri saya. Dalam obrolan-obrolan lepas malam yang sering saya dan istri lakukan, saya kerap membicarakan soal ini kepadanya. Saya bisa ini, kamu bisa itu, apa yang bisa kita lakukan buat lingkungan kita? Seperti itulah garis besar pembicaraan kami yang sering menemui jalan buntu dan hanya berakhir dengan pillow talk an-sich tanpa beralih ke ranah kerja. Membaca kembali buku berjudul Room To Read itu, dengan suasana dan “ruang kosong” yang ada di masyarakat, saya melakukan perenungan yang panjang lalu membuat tulisan ini.

Lingkungan tempat kami tinggal dihuni oleh banyak keluarga. Sebagian besarnya adalah keluarga kelas menengah yang bekerja sebagai pegawai negeri dan juga anggota keamanan seperti TNI dan Polri, selain para wirausahawan dan pekerja swasta lainnya. Kami bahkan memiliki beberapa pejabat daerah ini yang tinggal di sini termasuk seorang anggota dewan yang masih ada hubungan keluarga dengan istri saya. Secara umum, lingkungan tempat kami tinggal sangat nyaman, kondusif, dan tenang. Namun di luar semua hal yang menggembirakan itu, ada sisi lain yang cukup menyita perhatian saya. Anak-anak berusia SD-SMP di sini sangat banyak jumlahnya. Mungkin karena ada SD Negeri di dalam lingkungan komplek kami. Mereka yang jumlahnya berlimpah itu kerap menghabiskan waktu-waktu produktifnya dengan duduk-duduk di dego-dego  (semacam gardu/pos ronda) dan menyaksikan anak-anak yang lebih dewasa mendengarkan musik, merokok, dan bahkan ada yang sudah berani menenggak minuman keras. Istri saya mendapatkan cerita-cerita memprihatinkan dari para orangtua dalam sebuah forum arisan dan pengajian yang kebingungan dengan kondisi anak-anak belia mereka yang susah diatur, nakal, sudah “minum”, dan hal-hal negatif lainnya yang seharusnya dijauhkan dari anak-anak itu. Saya selalu berpandangan bahwa saat anak-anak kita tidak disibukkan dengan hal positif dan bermanfaat, maka mereka akan melakukan hal yang sebaliknya meski saya tahu anak-anak di sini menyimpan potensi kebaikan yang besar namun tak ada yang mengarahkan mereka dan mereka yang peduli pun hanya bisa membicarakannya di emperan masjid dan forum-forum informal yang diadakan warga. Bagaimanapun, harus ada yang mulai untuk bergerak dan merajut potensi-potensi terbaik itu agar bisa bekerjasama mengentaskan permasalahan yang kerap jadi santapan pandangan sehari-hari dan karenaya mengundang keprihatinan di hati tersebut. Saya lalu menyarankannya untuk membuka kembali pengajian anak-anak di masjid dan karenanya saya kemudian berkoordinasi dengan pengelola masjid dan TPA agar ide ini bisa terealisir. Tapi lagi dan lagi, ide positif itu masih senyap dan belum berkembang ke taraf yang menggembirakan. Saya merasa kesal dengan diri saya karena tak mampu berbuat lebih banyak karena kelemahan saya.  

Berangkat dari hasil perenungan paska membaca buku itu, ditambah dengan hasil pembicaraan saya dengan istri tentang problematika anak-anak di lingkungan ini, enggannya para orangtua untuk bergerak, diramu dengan pengamatan saya sendiri saat saya menyempatkan nongkrong bareng mereka pada suatu malam, saya lalu meneguhkan dan menguatkan diri untuk berbuat sesuatu! Saya membicarakan ide membuat rumah baca ini dengan istri saya dan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa kami lakukan dari usaha kecil ini. Meski awalnya ragu, istri saya akhirnya setuju juga dengan ide ini dan mulailah saya menyusun satu-persatu batu-bata ide tersebut agar menjadi bangunan kerja yang utuh. Saya lalu mencatat hal-hal yang perlu saya lakukan dalam notes sederhana di handphone lawas saya dan mulai bergerak. Saya tahu dan sadar bahwa saya wajib mengalahkan “kemalasan” yang lama bersemayam di dalam diri saya sebelum saya memutuskan untuk bergerak lebih jauh, kalau perlu saya membunuh kemalasan itu agar ia tak lagi bangkit dan menggoda saya untuk kembali berbaring dan menyaksikan gegap-gempita yang sedang berlangsung di dunia ini tanpa berhasil melakukan apapun. 

Malam ini saat mendata kembali koleksi buku yang ada di rumah saya menebarkan jejaring ingatan ke nama-nama yang punya potensi besar untuk membantu merealisasikan ide ini. Sambil sesekali melongok ke script template blog yang masih muda ini, saya membayangkan, sayangnya baru bisa membayangkan saja, kelak suatu hari nanti rumah baca ini akan riuh dengan suara anak-anak yang sedang membaca, padatnya akhir pekan kami dengan kegiatan-kegiatan mendongeng, atau sekedar melakukan baca buku rame-rame di sebuah tempat terbuka, suatu hari nanti. Ya, suatu hari nanti. Seribu langkah selalu dimulai dengan langkah pertama. Langkah pertama ini mungkin masih kecil dan daya jangkaunya masih skala lokal, tapi saya menyimpan optimisme yang kuat bahwa kami bisa berkembang menjadi lebih besar di masa mendatang. Insya Allah.

Saya ingin menutup tulisan acak-adut ini dengan sebuah kalimat yang saya dapatkan dari buku Room To Read:

”Kami punya impian-impian besar dan saya perlu meminta dukungan Anda untuk membantu kami mencapai impian-impian tersebut.”

Saya hanya ingin mengajak Anda agar mari kita berbuat untuk masa depan anak-anak bangsa ini yang lebih baik, karena selebihnya, keputusan ada di tangan Anda. [rbjendelailmu]


Luwuk, Juni 2014 

Fasilitas Kami

Selain membaca buku dan atau majalah gratis, kami juga menyediakan layanan internet gratis 24 jam di Rumah Baca Jendela Ilmu dan membagikan ebook-ebook bermutu yang kesemuanya bisa didapatkan dengan cuma-cuma. Selain itu, kami juga menyediakan jasa scan dokumen gratis bagi siapapun yang berkepentingan. Silakan hubungi kami di sini untuk info lebih lanjut di kontak-kontak berikut:

Selamat membaca. [rbjendelailmu]


Luwuk, Juni 2014

Donasi Untuk Rumah Baca Jendela Ilmu

Kami menerima donasi berupa buku-buku baik bekas maupun baru, majalah baik bekas maupun baru, mainan edukatif, lemari bekas, atau mebeuler bekas dan pastinya dana untuk mendukung kegiatan kami. Untuk donasi berupa buku, majalah, maupun barang-barang lainnya, bisa diserahkan langsung kepada kami yang beralamat di BTN Muspratama Blok C1/11 Kilongan Permai, Luwuk Utara. Bila Anda tidak ada waktu, maka kami akan dengan senang hati menjemputnya di depan pintu rumah Anda.

Sementara untuk donasi berupa dana, bisa disampaikan langsung kepada kami di lokasi Rumah Baca Jendela Ilmu, atau silakan download proposal kami di link berikut ini.

Donasi Anda akan kami salurkan untuk pengadaan buku, majalah, serta fasilitas penunjang lainnya yang disertakan dengan laporan kegiatan selama berkala sebagai wujud pertanggungjawaban kami.

Terima kasih dan tetap semangat membaca. [rbjendelailmu]

Luwuk, Juni 2014 

Katalog Buku

Berikut adalah daftar koleksi buku dan majalah Rumah Baca Jendela Ilmu. Silakan langsung mengakses ke link di bawah ini:

Katalog Buku Rumah Baca Jendela Ilmu.


Senin, 23 Juni 2014

Hubungi Kami

Untuk berkorespondensi dengan kami, silakan memanfaatkan fasilitas-fasilitas berikut ini:

  • Alamat:
Wahid Nugroho & Vani Mustapa
Rumah Baca Jendela Ilmu
BTN Muspratama Blok C1/11
Kilongan Permai, Luwuk Utara
Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah
Indonesia
  • Telepon:  SMS/WA : 0813 5426 4716 (Wahid) & 0852 4107 7293 (Vani)
  • Email:  datuadam@gmail.com




Tentang Kami

Rumah Baca Jendela Ilmu adalah sebuah usaha mandiri yang bersifat non-profit yang memfokuskan gerakannya untuk meningkatkan budaya baca sekaligus membangkitkan kesadaran literasi masyarakat di Kelurahan Kilongan Permai pada khususnya, serta masyarakat di Kabupaten Banggai pada umumnya. Visi Rumah Baca terangkum dalam sebuah tagline "Karena Buku Adalah Jendela Ilmu".

Rumah Baca Jendela Ilmu berlokasi di BTN Muspratama Blok C1/11 Kelurahan Kilongan Permai Kecamatan Luwuk Utara Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah Indonesia. Di sebuah ruang tamu berukuran empat kali tiga setengah meter inilah kami menanam sekaligus memelihara mimpi sederhana untuk menciptakan budaya baca sekaligus membangkitkan kecerdasan literasi bagi masyarakat. 

Ide pembuatan Rumah Baca ini berawal dari keprihatinan pengelola terhadap kondisi anak-anak serta remaja yang ada di lingkungan BTN Muspratama yang kerap menghabiskan waktunya dengan nongkrong di dego-dego atau melakukan kegiatan yang sia-sia. Tak jarang, anak-anak belia itu sudah berani merokok dan, menurut kabar dari sebagian orang tua, sudah ada yang menenggak minuman keras. Padahal di usia mereka yang masih sangat belia itu, mereka membutuhkan arahan serta bimbingan agar dapat menjalani kehidupan ini dengan cara yang lebih baik sehingga mereka dapat berperan serta positif dalam kehidupan bermasyarakat kelak. Apalagi, mereka adalah aset daerah dan bangsa ini di masa depan.

Kurangnya perhatian dari masyarakat dan ketidakmampuan mereka menawarkan solusi perbaikan mendorong kami untuk menawarkan sebuah gerakan yang dapat mengarahkan energi mereka yang berlimpah itu melalui kegiatan membaca buku. Maka lahirlah Rumah Baca Jendela Ilmu ini ke tengah-tengah masyarakat. Kegiatan Rumah Baca ini ke depannya tak hanya berkisar pada membaca buku saja, tapi juga kegiatan-kegiatan lain yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui semisal pelatihan menulis, kegiatan mendongeng, pelatihan wirausaha kreatif, dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.

Kami sadar, gerakan ini takkan berarti banyak tanpa adanya dukungan dari masyarakat. Oleh karenanya, pengelola tengah berusaha sekuat tenaga untuk menghimpun kegelisahan yang berserak di masyarakat dan mengkonversinya menjadi sebuah gerakan yang konkrit dan memiliki indikator kemanfaatan yang jelas. Pengelola juga melakukan koordinasi dengan pihak-pihak di pemerintahan yang memiliki tupoksi dan fokus dalam peningkatan kualitas dunia pendidikan dan kualitas sumber daya manusianya. Sehingga gerakan ini tak hanya menjadi tanggungjawab masyarakat dimana Rumah Baca ini berada saja, namun juga menjadi tanggungjawab pemerintah daerah setempat sebagai mitra kerja yang memiliki kewenangan dan kepentingan besar terhadap kualitas masyarakatnya di masa depan.

Pengelola Rumah Baca ini adalah sepasang suami istri bernama Wahid Nugroho dan Vani Mustapa. Wahid Nugroho, atau Wahid adalah pria kelahiran Jakarta 6 Agustus 1985 yang saat ini bertugas sebagai Fungsional Pemeriksa Pajak pada KPP Pratama Luwuk sejak tahun 2007. Selain itu, ia juga rutin menulis di blog pribadinya www.wahidnugroho.com dan di harian Luwuk Post. Ia juga aktif di Yayasan Pendidikan Mitra Insan Madani (MIM) sebagai sekretaris dan juga di Muslim Youth Community (MYCOM) Kabupaten Banggai. Saat ini ia sudah menikah dan memiliki tiga orang putri. Ia dapat dihubungi melalui email di: datuadam@gmail.com dan di facebook pribadinya: Gus Nuk.

Pengelola ke dua adalah Vani Mustapa. Ia adalah ibu muda kelahiran Luwuk 17 Februari 1986. Selain aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, ia juga adalah owner dari gerai kuliner Bubur Ayam Tompotika. Ia dapat dihubungi di facebook pribadinya: Vani Mustapa.

Sepotong Ide Bernama Rumah Baca

Saya punya ide untuk membuat rumah baca di Luwuk. Lokasinya di rumah (istri) saya yang berlokasi di BTN Muspratama Kilongan Permai. Daerah yang sering dijadikan bahan guyonan sebagai “tempat terdekat dengan Tuhan” karena memang lokasinya yang jauh berada di atas bukit.

Ide ini sebenarnya sangat sederhana. Koleksi buku dan majalah saya yang tak seberapa itu akan dibuka aksesnya untuk publik. Meski ide ini terdengar bagus dan sederhana, saya justru menemukan hal-hal yang ternyata membuat saya berpikir dua kali untuk merealisasikan ide itu. Masalah pertama adalah database koleksi buku saya hilang setelah laptop antik saya rusak tempo hari. Database yang sudah saya buat itu tak sempat saya simpan back-up-nya di hardisk sehingga menyulitkan saya untuk melakukan pendataan koleksi buku di rumah. Masalah selanjutnya, saya masih sangat awam dengan dunia per-Rumah Baca-an. Saya masih mencuri-curi waktu untuk mencari referensi perihal kegiatan-kegiatan yang biasa dijalankan oleh Rumah Baca dan saya masih perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian yang sesuai dengan situasi di lingkungan saya. Masalah selanjutnya, koleksi buku saya masih belum seberapa. Koleksi majalah pun masih belum banyak dan kebanyakan majalah-majalah tua. Ditambah lagi buku-buku itu adalah buku yang terlalu “gue banget” dan mungkin tidak terlalu menarik bagi sebagian orang. Sebenarnya masih ada banyak kesulitan yang lain. Namun saya tidak suka menuliskan kesulitan-kesulitan saat hendak memulai pekerjaan yang, insya Allah, mulia ini. Saya bergeming dengan ide awal itu dan mulai menyusun beberapa rencana.

Rencana pertama saya adalah mencari nama. Maka jadilah Rumah Baca Jendela Ilmu menjadi pilihan saya. Awalnya saya ingin memberi nama Rumah Baca Luwuk, namun dengan berbagai pertimbangan nama itu saya urungkan. Saya juga tertarik dengan penamaan berbahasa Inggris, tapi saya urungkan juga. Saya sudah merasa puas dengan nama Rumah Baca Jendela Ilmu karena menyimpan kesederhanaan dan visi yang kuat. Setelah membuat nama, saya lalu membuat email, blog, dan menyusul logo. Berhubung program corel di laptop antik saya sudah hilang, saya sepertinya perlu menginstallnya kembali. Ada beberapa logo yang sudah terbayang di benak saya.

Selanjutnya adalah mendata kembali buku-buku dan majalah yang ada di rumah. Bagian ini akan saya lakukan sambil jalan saja. Lalu saya juga sempat bertanya ke beberapa teman yang aktif di organisasi sosial, apakah saya bisa mengajukan proposal untuk pengadaan buku-buku serta majalah, meski bekas, di rumah baca itu dan jawabannya sungguh melegakan saya. Usaha kecil ini memang masih sangat prematur dan saya menyadari ada banyak aspek yang harus segera saya penuhi pelan-pelan, termasuk membicarakan ide ini kepada kepala lingkungan tempat saya tinggal. Siapa tahu, dengan ide ini bisa mendapatkan dukungan dari masyarakat sekitar saya dan karenanya kami bisa melakukan project kecil ini secara bergotong-royong.

Saya mohon dukungan dan doa dari Anda semua. [rbjendelailmu]

Luwuk, Juni 2014

Iftitah

Kerja besar untuk perubahan besar. Sejuta langkah selalu dimulai dari langkah pertama. Dengan mengharap ridho Allah ajja wajalla dan mengucap bismillahi tawakkaltu 'alallah, kronik Rumah Baca Jendela Ilmu ini akan saya mulai. [rbjendelailmu]

Luwuk, Juni 2014