Rabu, 01 April 2015

Kongkow Bareng Cahyadi dan Kiki Pido

Malam ini saya mendapatkan pelajaran yang sangat penting dalam mengelola sebuah organisasi kerelawanan dari seorang teman yang sudah lama bergulat di dalam dunia itu. Pelajaran itu bernama sustainibility.

Semalam saya bertemu dengan Cahyadi, relawan Komunitas Penyala, dan juga Kiki Pido, aktivis AMAN – Asian Muslim Action Network – di lantai dua sebuah rumah makan cepat saji di Luwuk. Ditemani udara malam yang sejuk, riuh rendah anak-anak yang berlarian di wahana permainan, dan suasana lalu lintas jalan Urip Sumohardjo yang ramai, kami bertiga berbincang ngalor ngidul seputar dunia kerelawanan sekaligus mengobrol tentang rencana untuk mengajak komunitas-komunitas yang ada di Luwuk untuk sama-sama berkontribusi demi kebaikan generasi muda di Kabupaten Banggai di masa mendatang.

Pertemuan semalam bisa dibilang pertemuan lanjutan dari pertemuan-pertemuan acak yang pernah kami lakukan sebelumnya. Cahyadi dan teman-teman Komunitas Penyala-nya pernah berkunjung ke Rumah Baca Jendela Ilmu yang saya kelola, sementara Kiki dan saya pernah berdiskusi singkat di Perpustakaan Daerah menjelang akhir tahun 2014 silam. Usai pertemuan-pertemuan itu, saya memang sudah berniat di dalam hati supaya bisa melanjutkan pembicaraan yang masih ngalor-ngidul itu ke dalam bentuk yang lebih kongkrit dan terarah. Maka jadilah kami bertiga janjian buat ketemuan semalam.

Oh iya, ngomong-ngomong tentang Komunitas Penyala, mereka adalah sebuah komunitas yang punya konsern sama dengan rumah baca yang saya kelola. Kami sama-sama membangun perpustakaan untuk umum di daerah dan menyuntiknya dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Cahyadi dengan teman-temannya sudah membuat satu rumah baca di desa Ondo-Ondolu kecamatan Batui bernama Rumah Baca Sajalobba dan, menurut penuturannya, akan membuka beberapa rumah baca lagi di beberapa lokasi yang sudah mereka tentukan. Saya berjanji untuk ikut menyalurkan buku-buku yang sudah didonasikan kepada rumah baca saya kepada rumah baca yang dikelolanya dengan sistem rolling. Sistem rolling memungkinkan jangkauan buku yang lebih luas dan menuntut pertanggungjawaban yang kuat dari para pengelolanya agar menjaga buku-buku yang sudah didonasikan dari kemungkinan hilang dan rusak. Sementara Kiki, memberikan sebuah nasehat profesional yang membuat saya tersadar dengan posisi saya yang masih hijau dengan dunia kerelawanan ini. Nasehat itu adalah tentang sustainibilitas.

Ceritanya berawal ketika saya memberikan proposal rumah baca kepadanya. Selesai membaca-baca proposal yang berwarna-warni itu, Kiki melontarkan sebuah pertanyaan krusial yang, sayangnya, terlewat dari proposal itu. Kiki, sang jomblo ganteng itu (abaikan), bertanya tentang program-program rumah baca dan bagaimana cara menjamin keberlangsungan program-program tersebut ketika saya, sebagai pengelola, sudah pindah ke kota lain. Saya mengutuki diri sendiri kenapa sampai saya melupakan hal sepenting itu di dalam proposal dan terpaku pada perwajahan proposal dan hal-hal yang sudah pernah dilakukan oleh rumah baca selama ini. Kiki berpetuah kepada saya bahwa lembaga-lembaga donor biasanya memiliki perhatian yang kuat pada sisi sustainibilitas sebuah organisasi non profit seperti ini.  Memang, bergaul dengan orang-orang yang tahu lebih banyak tentang dunia seperti ini membuat saya jadi bisa belajar banyak, selain menambah jejaring yang, siapa tahu, bisa bermanfaat di kemudian hari.

Balik lagi ke soal sustainibility.

Rumah Baca Jendela Ilmu, tepat pada saat dibuatnya tulisan ini, berarti sudah tujuh bulan beroperasi secara resmi. Selama tujuh bulan perjalanannya, saya merasa bahwa apa yang saya lakukan selama ini masih jauh dari ideal. Waktu yang terbatas, tuntutan pekerjaan, dan kebutuhan-kebutuhan berskala privat yang harus saya penuhi berkejaran satu demi satu menyesaki hari. Membuka ruang diskusi dengan orang-orang yang punya pengalaman dan pemahaman yang jauh lebih banyak dari saya membuat mata saya terbuka lebih lebar dan, karenanya, jadi belajar lebih banyak. Utamanya soal sustainibility tadi. Dan juga kontinuitas.

Oh iya, jika tidak ada halangan yang berarti, Rumah Baca Jendela Ilmu bersama dengan Komunitas Penyala dan teman-teman volunteer yang lain berencana untuk mengadakan acara Rumah Baca Goes To School pada tanggal 18 April nanti. Adapun untuk detil acara dan urusan teknis lainnya masih akan dibicarakan kemudian.

‘Ala kulli haal, saya mengucapkan terima kasih atas pertemuan dan obrolan yang intens tentang kontribusi untuk masa depan wilayah ini di masa mendatang tadi malam. Bagaimanapun, kerja kerelawanan meski tampak sederhana dan kesannya mudah ternyata menyimpan kerumitan-kerumitannya tersendiri. Karena di tengah hingar bingar tawa dan hati yang menghangat karena bahagia, ada kerja dalam diam yang merampas waktu dan kebersamaan, memeras isi hati, dan melelahkan jiwa-jiwa.

Terakhir. Selamat Hari Buku Anak Sedunia. [rumahbacajendelailmu]


Kilongan, April 2015 


0 komentar:

Posting Komentar