Selasa, 24 Juni 2014

Semacam Upaya Membunuh Kemalasan

Malam itu saya menghadap lemari buku saya yang baru saja dicat dan direparasi ulang. Lemari yang merupakan pemberian dari ibu mertua saya itu awalnya sangat buruk. Sudah layak dibuang sebenarnya. Namun berkat kerja keras sepupu istri saya, Anto, dan kakak ipar saya, Pian, lemari itu tampak bersih, kering, dan layak dipakai. Sekarang lemari itu sudah ditempatkan di ruang tamu rumah kami yang mungil menggantikan lemari (serbuk) kayu saya yang baru saya beli sekitar enam atau tujuh bulan yang lalu.

Mata saya menjelajah ke deretan buku yang saling berjejalan di sana sembari merayapi sampul bagian sampingnya yang mendongak ke arah saya dengan ujung-ujung jari saya. Setelah puas menjelajah ke sana dan kemari, pandangan saya akhirnya jatuh pada sebuah buku lama, well sebenarnya tidak terlalu lama juga, yang berjudul Room To Read. Buku itu saya beli di bandara Sultan Hasanuddin sekitar empat tahun yang lalu sepulang dari acara rekonsiliasi di Kanwil Pajak Manado. Saya lalu mengambil buku itu dan menimang-nimangnya. Covernya sudah lecek karena dibuat mainan oleh anak-anak saya, ada banyak coretan di sini dan di sana. Saya lalu membaca beberapa halaman dari buku itu dan teringat dengan kali pertama saya membaca buku ini empat tahun yang lalu.

Bandara Sultan Hasanuddin masih dalam masa renovasi waktu itu. Hiruk-pikuk calon penumpang meramaikan suasana. Seorang turis asing bertubuh tegap berjalan tergesa-gesa sambil melihat arloji di tangannya. Sambil menunggu pesawat yang akan kami tumpangi ke Luwuk boarding, saya mampir ke sebuah toko buku yang ada di situ dan membeli buku tersebut. Setelah membayar ke kasir, saya lalu berjalan ke gate tempat saya akan menunggu pesawat untuk membaca buku itu dan hanyut dengan penuturan John Wood perihal usaha filantropinya untuk mengentaskan buta huruf di dunia ketiga. Tak sampai sepekan, buku itu saya khatamkan. Saya sempat membuat ulasan singkatnya waktu itu, namun filenya hilang paska laptop antik saya rusak (oke, ini alasan yang sering saya tulis belakangan ini). Paska membaca buku itu, saya pun tergerak untuk melakukan sesuatu terkait dengan buku. Saya tentu belum pada level se-ekstrem yang dilakukan oleh John dengan keluar dari tempat kerjanya lalu blusukan ke negara-negara dunia ketiga untuk membangun sekolah dan perpustakaan di sana, tentu saja. Situasi finansial saya juga tidak sementereng John yang alumnus perusahaan dotcom terbesar sejagat raya bernama Microsoft, dan segala keterbatasan lainnya. Tapi saya tetap ingin melakukan sesuatu. Sesuatu yang sederhana dan masih dalam ruang lingkup lokal. Saya hanya ingin menularkan semangat membaca bagi lingkungan saya tempat saya tinggal saat ini: Luwuk. Seiring berjalannya waktu dan berubahnya prioritas, dan karena keterbatasan-keterbatasan yang ada, niat itu pun menguap, dan terlupakan.

Saat ini, empat tahun kemudian, saya kembali memutuskan untuk membaca buku itu sampai tamat. Ada perasaan yang berbeda saat kali pertama membacanya dengan saat ini. Di samping jumlah keluarga kami yang sudah cukup berkembang dengan hadirnya putri ketiga dan mamak kandung saya di rumah, kami sekarang tinggal di rumah istri saya yang sudah saya rombak total hingga nyaman ditempati. Saya tidak mengatakan bahwa kondisi kami sudah jauh lebih baik dan lebih stabil ketimbang kondisi kami empat tahun yang lalu, tidak. Hanya saja, dengan bergabungnya saya ke dalam sebuah komunitas masyarakat tempat saya tinggal saat ini, saya kerap bertanya-tanya, kontribusi apa yang bisa saya lakukan untuk mewarnai lingkungan ini dengan hal-hal yang positif.

Saya mungkin bukan orang terbaik untuk melakukan hal-hal yang baik, tapi saya punya niat untuk melakukan hal-hal yang baik itu terlepas dari segala kekurangan yang ada pada diri saya. Dalam obrolan-obrolan lepas malam yang sering saya dan istri lakukan, saya kerap membicarakan soal ini kepadanya. Saya bisa ini, kamu bisa itu, apa yang bisa kita lakukan buat lingkungan kita? Seperti itulah garis besar pembicaraan kami yang sering menemui jalan buntu dan hanya berakhir dengan pillow talk an-sich tanpa beralih ke ranah kerja. Membaca kembali buku berjudul Room To Read itu, dengan suasana dan “ruang kosong” yang ada di masyarakat, saya melakukan perenungan yang panjang lalu membuat tulisan ini.

Lingkungan tempat kami tinggal dihuni oleh banyak keluarga. Sebagian besarnya adalah keluarga kelas menengah yang bekerja sebagai pegawai negeri dan juga anggota keamanan seperti TNI dan Polri, selain para wirausahawan dan pekerja swasta lainnya. Kami bahkan memiliki beberapa pejabat daerah ini yang tinggal di sini termasuk seorang anggota dewan yang masih ada hubungan keluarga dengan istri saya. Secara umum, lingkungan tempat kami tinggal sangat nyaman, kondusif, dan tenang. Namun di luar semua hal yang menggembirakan itu, ada sisi lain yang cukup menyita perhatian saya. Anak-anak berusia SD-SMP di sini sangat banyak jumlahnya. Mungkin karena ada SD Negeri di dalam lingkungan komplek kami. Mereka yang jumlahnya berlimpah itu kerap menghabiskan waktu-waktu produktifnya dengan duduk-duduk di dego-dego  (semacam gardu/pos ronda) dan menyaksikan anak-anak yang lebih dewasa mendengarkan musik, merokok, dan bahkan ada yang sudah berani menenggak minuman keras. Istri saya mendapatkan cerita-cerita memprihatinkan dari para orangtua dalam sebuah forum arisan dan pengajian yang kebingungan dengan kondisi anak-anak belia mereka yang susah diatur, nakal, sudah “minum”, dan hal-hal negatif lainnya yang seharusnya dijauhkan dari anak-anak itu. Saya selalu berpandangan bahwa saat anak-anak kita tidak disibukkan dengan hal positif dan bermanfaat, maka mereka akan melakukan hal yang sebaliknya meski saya tahu anak-anak di sini menyimpan potensi kebaikan yang besar namun tak ada yang mengarahkan mereka dan mereka yang peduli pun hanya bisa membicarakannya di emperan masjid dan forum-forum informal yang diadakan warga. Bagaimanapun, harus ada yang mulai untuk bergerak dan merajut potensi-potensi terbaik itu agar bisa bekerjasama mengentaskan permasalahan yang kerap jadi santapan pandangan sehari-hari dan karenaya mengundang keprihatinan di hati tersebut. Saya lalu menyarankannya untuk membuka kembali pengajian anak-anak di masjid dan karenanya saya kemudian berkoordinasi dengan pengelola masjid dan TPA agar ide ini bisa terealisir. Tapi lagi dan lagi, ide positif itu masih senyap dan belum berkembang ke taraf yang menggembirakan. Saya merasa kesal dengan diri saya karena tak mampu berbuat lebih banyak karena kelemahan saya.  

Berangkat dari hasil perenungan paska membaca buku itu, ditambah dengan hasil pembicaraan saya dengan istri tentang problematika anak-anak di lingkungan ini, enggannya para orangtua untuk bergerak, diramu dengan pengamatan saya sendiri saat saya menyempatkan nongkrong bareng mereka pada suatu malam, saya lalu meneguhkan dan menguatkan diri untuk berbuat sesuatu! Saya membicarakan ide membuat rumah baca ini dengan istri saya dan kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa kami lakukan dari usaha kecil ini. Meski awalnya ragu, istri saya akhirnya setuju juga dengan ide ini dan mulailah saya menyusun satu-persatu batu-bata ide tersebut agar menjadi bangunan kerja yang utuh. Saya lalu mencatat hal-hal yang perlu saya lakukan dalam notes sederhana di handphone lawas saya dan mulai bergerak. Saya tahu dan sadar bahwa saya wajib mengalahkan “kemalasan” yang lama bersemayam di dalam diri saya sebelum saya memutuskan untuk bergerak lebih jauh, kalau perlu saya membunuh kemalasan itu agar ia tak lagi bangkit dan menggoda saya untuk kembali berbaring dan menyaksikan gegap-gempita yang sedang berlangsung di dunia ini tanpa berhasil melakukan apapun. 

Malam ini saat mendata kembali koleksi buku yang ada di rumah saya menebarkan jejaring ingatan ke nama-nama yang punya potensi besar untuk membantu merealisasikan ide ini. Sambil sesekali melongok ke script template blog yang masih muda ini, saya membayangkan, sayangnya baru bisa membayangkan saja, kelak suatu hari nanti rumah baca ini akan riuh dengan suara anak-anak yang sedang membaca, padatnya akhir pekan kami dengan kegiatan-kegiatan mendongeng, atau sekedar melakukan baca buku rame-rame di sebuah tempat terbuka, suatu hari nanti. Ya, suatu hari nanti. Seribu langkah selalu dimulai dengan langkah pertama. Langkah pertama ini mungkin masih kecil dan daya jangkaunya masih skala lokal, tapi saya menyimpan optimisme yang kuat bahwa kami bisa berkembang menjadi lebih besar di masa mendatang. Insya Allah.

Saya ingin menutup tulisan acak-adut ini dengan sebuah kalimat yang saya dapatkan dari buku Room To Read:

”Kami punya impian-impian besar dan saya perlu meminta dukungan Anda untuk membantu kami mencapai impian-impian tersebut.”

Saya hanya ingin mengajak Anda agar mari kita berbuat untuk masa depan anak-anak bangsa ini yang lebih baik, karena selebihnya, keputusan ada di tangan Anda. [rbjendelailmu]


Luwuk, Juni 2014 

0 komentar:

Posting Komentar