Malam itu saya menghadap lemari buku saya yang baru saja
dicat dan direparasi ulang. Lemari yang merupakan pemberian dari ibu mertua saya itu awalnya
sangat buruk. Sudah layak dibuang sebenarnya. Namun berkat kerja keras sepupu
istri saya, Anto, dan kakak ipar saya, Pian, lemari itu tampak bersih, kering,
dan layak dipakai. Sekarang lemari itu sudah ditempatkan di ruang tamu rumah
kami yang mungil menggantikan lemari (serbuk) kayu saya yang baru saya beli sekitar
enam atau tujuh bulan yang lalu.
Mata saya menjelajah ke deretan buku yang saling berjejalan
di sana sembari merayapi sampul bagian sampingnya yang mendongak ke arah saya
dengan ujung-ujung jari saya. Setelah puas menjelajah ke sana dan kemari, pandangan
saya akhirnya jatuh pada sebuah buku lama, well
sebenarnya tidak terlalu lama juga, yang berjudul Room To Read. Buku itu saya
beli di bandara Sultan Hasanuddin sekitar empat tahun yang lalu sepulang dari
acara rekonsiliasi di Kanwil Pajak Manado. Saya lalu mengambil buku itu dan
menimang-nimangnya. Covernya sudah lecek karena dibuat mainan oleh anak-anak
saya, ada banyak coretan di sini dan di sana. Saya lalu membaca beberapa
halaman dari buku itu dan teringat dengan kali pertama saya membaca buku ini empat
tahun yang lalu.
Bandara Sultan Hasanuddin masih dalam masa renovasi waktu
itu. Hiruk-pikuk calon penumpang meramaikan suasana. Seorang turis asing
bertubuh tegap berjalan tergesa-gesa sambil melihat arloji di tangannya. Sambil
menunggu pesawat yang akan kami tumpangi ke Luwuk boarding, saya mampir ke
sebuah toko buku yang ada di situ dan membeli buku tersebut. Setelah membayar
ke kasir, saya lalu berjalan ke gate tempat saya akan menunggu pesawat untuk
membaca buku itu dan hanyut dengan penuturan John Wood perihal usaha
filantropinya untuk mengentaskan buta huruf di dunia ketiga. Tak sampai
sepekan, buku itu saya khatamkan. Saya sempat membuat ulasan singkatnya waktu
itu, namun filenya hilang paska laptop antik saya rusak (oke, ini alasan yang
sering saya tulis belakangan ini). Paska membaca buku itu, saya pun tergerak
untuk melakukan sesuatu terkait dengan buku. Saya tentu belum pada level se-ekstrem
yang dilakukan oleh John dengan keluar dari tempat kerjanya lalu blusukan ke negara-negara dunia ketiga
untuk membangun sekolah dan perpustakaan di sana, tentu saja. Situasi finansial
saya juga tidak sementereng John yang alumnus perusahaan dotcom terbesar sejagat raya bernama Microsoft, dan segala
keterbatasan lainnya. Tapi saya tetap ingin melakukan sesuatu. Sesuatu yang
sederhana dan masih dalam ruang lingkup lokal. Saya hanya ingin menularkan
semangat membaca bagi lingkungan saya tempat saya tinggal saat ini: Luwuk. Seiring
berjalannya waktu dan berubahnya prioritas, dan karena
keterbatasan-keterbatasan yang ada, niat itu pun menguap, dan terlupakan.
Saat ini, empat tahun kemudian, saya kembali memutuskan
untuk membaca buku itu sampai tamat. Ada perasaan yang berbeda saat kali
pertama membacanya dengan saat ini. Di samping jumlah keluarga kami yang sudah
cukup berkembang dengan hadirnya putri ketiga dan mamak kandung saya di rumah,
kami sekarang tinggal di rumah istri saya yang sudah saya rombak total hingga
nyaman ditempati. Saya tidak mengatakan bahwa kondisi kami sudah jauh lebih
baik dan lebih stabil ketimbang kondisi kami empat tahun yang lalu, tidak. Hanya
saja, dengan bergabungnya saya ke dalam sebuah komunitas masyarakat tempat saya
tinggal saat ini, saya kerap bertanya-tanya, kontribusi apa yang bisa saya lakukan
untuk mewarnai lingkungan ini dengan hal-hal yang positif.
Saya mungkin bukan orang terbaik untuk melakukan hal-hal
yang baik, tapi saya punya niat untuk melakukan hal-hal yang baik itu terlepas
dari segala kekurangan yang ada pada diri saya. Dalam obrolan-obrolan lepas
malam yang sering saya dan istri lakukan, saya kerap membicarakan soal ini
kepadanya. Saya bisa ini, kamu bisa itu, apa yang bisa kita lakukan buat
lingkungan kita? Seperti itulah garis besar pembicaraan kami yang sering
menemui jalan buntu dan hanya berakhir dengan pillow talk an-sich tanpa beralih ke ranah kerja. Membaca kembali
buku berjudul Room To Read itu, dengan suasana dan “ruang kosong” yang ada di
masyarakat, saya melakukan perenungan yang panjang lalu membuat tulisan ini.
Lingkungan tempat kami tinggal dihuni oleh banyak keluarga. Sebagian
besarnya adalah keluarga kelas menengah yang bekerja sebagai pegawai negeri dan
juga anggota keamanan seperti TNI dan Polri, selain para wirausahawan dan
pekerja swasta lainnya. Kami bahkan memiliki beberapa pejabat daerah ini yang
tinggal di sini termasuk seorang anggota dewan yang masih ada hubungan keluarga
dengan istri saya. Secara umum, lingkungan tempat kami tinggal sangat nyaman,
kondusif, dan tenang. Namun di luar semua hal yang menggembirakan itu, ada sisi
lain yang cukup menyita perhatian saya. Anak-anak berusia SD-SMP di sini sangat
banyak jumlahnya. Mungkin karena ada SD Negeri di dalam lingkungan komplek
kami. Mereka yang jumlahnya berlimpah itu kerap menghabiskan waktu-waktu
produktifnya dengan duduk-duduk di dego-dego (semacam gardu/pos ronda) dan menyaksikan anak-anak yang
lebih dewasa mendengarkan musik, merokok, dan bahkan ada yang sudah berani
menenggak minuman keras. Istri saya mendapatkan cerita-cerita memprihatinkan
dari para orangtua dalam sebuah forum arisan dan pengajian yang kebingungan
dengan kondisi anak-anak belia mereka yang susah diatur, nakal, sudah “minum”,
dan hal-hal negatif lainnya yang seharusnya dijauhkan dari anak-anak itu. Saya
selalu berpandangan bahwa saat anak-anak kita tidak disibukkan dengan hal
positif dan bermanfaat, maka mereka akan melakukan hal yang sebaliknya meski
saya tahu anak-anak di sini menyimpan potensi kebaikan yang besar namun tak ada
yang mengarahkan mereka dan mereka yang peduli pun hanya bisa membicarakannya
di emperan masjid dan forum-forum informal yang diadakan warga. Bagaimanapun,
harus ada yang mulai untuk bergerak dan merajut potensi-potensi terbaik itu
agar bisa bekerjasama mengentaskan permasalahan yang kerap jadi santapan
pandangan sehari-hari dan karenaya mengundang keprihatinan di hati tersebut. Saya
lalu menyarankannya untuk membuka kembali pengajian anak-anak di masjid dan
karenanya saya kemudian berkoordinasi dengan pengelola masjid dan TPA agar ide
ini bisa terealisir. Tapi lagi dan lagi, ide positif itu masih senyap dan belum
berkembang ke taraf yang menggembirakan. Saya merasa kesal dengan diri saya
karena tak mampu berbuat lebih banyak karena kelemahan saya.
Berangkat dari hasil perenungan paska membaca buku itu,
ditambah dengan hasil pembicaraan saya dengan istri tentang problematika
anak-anak di lingkungan ini, enggannya para orangtua untuk bergerak, diramu
dengan pengamatan saya sendiri saat saya menyempatkan nongkrong bareng mereka
pada suatu malam, saya lalu meneguhkan dan menguatkan diri untuk berbuat
sesuatu! Saya membicarakan ide membuat rumah baca ini dengan istri saya dan
kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa kami lakukan dari usaha kecil ini. Meski
awalnya ragu, istri saya akhirnya setuju juga dengan ide ini dan mulailah saya
menyusun satu-persatu batu-bata ide tersebut agar menjadi bangunan kerja yang
utuh. Saya lalu mencatat hal-hal yang perlu saya lakukan dalam notes sederhana
di handphone lawas saya dan mulai bergerak. Saya tahu dan sadar bahwa saya
wajib mengalahkan “kemalasan” yang lama bersemayam di dalam diri saya sebelum saya
memutuskan untuk bergerak lebih jauh, kalau perlu saya membunuh kemalasan itu
agar ia tak lagi bangkit dan menggoda saya untuk kembali berbaring dan menyaksikan
gegap-gempita yang sedang berlangsung di dunia ini tanpa berhasil melakukan
apapun.
Malam ini saat mendata kembali koleksi buku yang ada di
rumah saya menebarkan jejaring ingatan ke nama-nama yang punya potensi besar
untuk membantu merealisasikan ide ini. Sambil sesekali melongok ke script template blog yang masih muda
ini, saya membayangkan, sayangnya baru bisa membayangkan saja, kelak suatu hari
nanti rumah baca ini akan riuh dengan suara anak-anak yang sedang membaca,
padatnya akhir pekan kami dengan kegiatan-kegiatan mendongeng, atau sekedar
melakukan baca buku rame-rame di sebuah tempat terbuka, suatu hari nanti. Ya,
suatu hari nanti. Seribu langkah selalu dimulai dengan langkah pertama. Langkah pertama ini mungkin masih kecil dan daya jangkaunya masih skala lokal, tapi saya menyimpan optimisme yang kuat bahwa kami bisa berkembang menjadi lebih besar di masa mendatang. Insya Allah.
Saya ingin menutup tulisan acak-adut ini dengan sebuah kalimat yang saya dapatkan dari buku Room To Read:
Saya ingin menutup tulisan acak-adut ini dengan sebuah kalimat yang saya dapatkan dari buku Room To Read:
”Kami punya impian-impian besar dan saya perlu meminta
dukungan Anda untuk membantu kami mencapai impian-impian tersebut.”
Saya hanya ingin mengajak Anda agar mari kita berbuat untuk masa depan anak-anak bangsa ini yang lebih baik, karena selebihnya, keputusan ada di tangan Anda. [rbjendelailmu]
Saya hanya ingin mengajak Anda agar mari kita berbuat untuk masa depan anak-anak bangsa ini yang lebih baik, karena selebihnya, keputusan ada di tangan Anda. [rbjendelailmu]
Luwuk, Juni 2014
0 komentar:
Posting Komentar