Sebuah kabar gembira datang dari beberapa penjuru dalam beberapa hari belakangan ini. Penjuru pertama berasal dari grup whatsapp alumni STAN angkatan tahun 2003, dimana saya juga
tergabung di dalamnya, yang bersedia untuk memberikan bantuan untuk rumah baca
yang sedang saya rintis. Penjuru selanjutnya berasal dari pengelola FS Peduli,
bu Dhew, dan seorang kakak kelas di STAN, yang juga pengurus masjid Shalahudin
di Kantor Pusat DJP, yang, katakanlah, memberikan angin segar untuk proposal
pengadaan buku dan bahan bacaan lainnya yang sekarang sedang saya susun.
Penjuru ke tiga berasal dari dua orang teman di Facebook
saya, om Dedy dan mas Ganang, yang berniat untuk mendonasikan koleksi buku-buku
tak terpakainya kepada saya. Khusus untuk penjuru ke tiga ini saya masih
membicarakan perihal teknis penyaluran bukunya kepada kedua teman saya
tersebut. Semoga ada kabar baik.
Penjuru ke empat berasal dari grup Bursa Kolektor Parma.
Saya sedang mengadakan lelang amal salah satu koleksi jersey Parma saya di grup
itu dan semoga saja ada respon yang positif dari teman-teman di sana. Penjuru
selanjutnya berasal dari salah satu grup whatsapp
yang saya ikuti dimana salah satu membernya bersedia meneruskan proposal rumah
baca kami ke beberapa penerbit di Jakarta.
Dari semua kabar baik yang menggembirakan dan menyemangati
itu, ada juga kabar-kabar yang membuat saya tetap menjejakkan kaki di bumi. Semacam
rambu yang membuat saya tetap ingat dengan eksistensi jiwa dimana ide besar ini
akan tetap berdenyut dan tumbuh berkembang di masa depan. Di antara rambu-rambu
tersebut adalah rendahnya minat baca di masyarakat. Istri saya bercerita kepada
saya tentang usahanya menyampaikan ide rumah baca ini di forum arisan ibu-ibu
yang diikutinya dan responnya ternyata cukup senyap. Mungkin momen saat
menyampaikannya yang kurang tepat. Seorang ibu mengatakan bahwa dulu pernah ada
perpustakaan di SD Muspratama yang hanya ramai beberapa saat saja tapi setelah
itu sepi. Saya menggali cerita itu dan mendapatkan banyak sekali masukan
tentang bagaimana cara saya untuk mengelola rumah baca ini ke depannya, di antaranya adalah soal koleksi buku yang beragam dan kegiatan yang tidak monoton. Saya juga
diingatkan oleh seorang teman di facebook agar tak hanya terpaku pada buku
bacaan saja, tapi juga pada kegiatan lain yang memungkinkan sebuah komunitas
pembaca bisa bertahan dan berkembang melalui diversifikasi program dan juga
kegiatan-kegiatan produktif lainnya. Mendapatkan rambu-rambu semacam ini, bukannya kendur, saya malah jadi bersemangat karena tantangan yang akan saya hadapi sudah jelas seperti apa bentuk-bentuknya.
Memang harus begitu. Ide yang berada di awang-awang harus
dikaitkan dengan benang realita yang membuatnya tetap menjejak di bumi. Namun di
luar itu semua, nyawa dari sebuah mimpi, bagi saya, adalah keyakinan yang kuat
bahwa mimpi itu bisa diwujudkan. Saya tidak sedang menafikan posisi Tuhan di
sini, tidak. Saya sedang menanamkan keyakinan di dalam hati saya bahwa saya
insya Allah bisa mewujudkan mimpi ini menjadi nyata. Saya ingin menanamkan
sebuah keyakinan dalam diri saya bahwa lebih baik saya mencoba dan saya gagal
ketimbang menyesal karena gagal mencoba.
Karena Jackson Brown Jr., salah seorang penulis kenamaan
Amerika pernah berkata, “Twenty years
from now you will be more disappointed by the things that you didn't do than by
the ones you did do. So throw off the bowlines. Sail away from the safe harbor.
Catch the trade winds in your sails. Explore. Dream. Discover.”
Bismillahi tawakkaltu ‘alallah. [rbjendelailmu]
Luwuk, Juni 2014
0 komentar:
Posting Komentar