RUMAH Puisi Taufiq Ismail berada tepat di pinggir jalan raya Padang–Bukittinggi. Meski begitu, tidak mudah mencapai tempat tersebut. Jika tidak benar-benar memperhatikan jalan, salah satu destinasi penting bagi penggemar sastra tersebut bakal terlewati begitu saja.
Untuk menjangkau tempat tersebut, kendaraan harus belok ke jalan menanjak nan curam. ’’Gunakan persneling satu.’’ Begitu rambu yang dipajang di jalan sebelum tanjakan.
Berada di daerah dataran tinggi, kawasan bernama Kanagarian Aie Angek itu terletak di jalan raya Padang Panjang–Bukittinggi Km 6. Di tempat itulah Taufiq meninggalkan warisan terpenting bagi kelangsungan sastra tanah air. Terdapat ribuan buku dan goresan karyanya yang tersusun rapi.
Berada di antara dua gunung membuat lokasi Rumah Puisi memiliki nilai keindahan yang luar biasa. Sejauh mata memandang adalah sawah berjenjang dengan background Gunung Singgalang. Jika sedang beruntung, sang gunung menampilkan kegagahannya tanpa tertutupi sehelai kabut pun.
Di sisi berlawanan tersaji pemandangan jalan berkelok-kelok. Sebagai latar yang menambah kesan surgawi daerah tersebut adalah Gunung Marapi yang berdiri kukuh. Gunung berapi itu masih aktif dan beberapa kali menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanis.
Bangunan Rumah Puisi Taufiq Ismail berbentuk segi empat. Berhias kaca tembus pandang di sekelilingnya, ruang itu terlihat luas dan bersih. Di dalamnya terdapat puluhan lemari kayu yang menampung buku-buku berbagai kategori.
Menurut Sillia Wahyulli, manajer Rumah Puisi Taufiq Ismail, koleksi buku di tempat tersebut lebih dari 8 ribu. ’’Ini adalah setengah dari koleksi Pak Taufiq. Setengahnya masih berada di kediaman beliau di Jakarta,’’ katanya.
Rumah Puisi didirikan enam tahun lalu sebagai tempat bagi Taufiq memuseumkan karya-karya dan koleksi bukunya. Tempat tersebut pernah akan disumbangkan ke Habibie Center. Namun, sastrawan yang kini berusia 79 tahun itu memiliki pemikiran lain. Dia menginginkan karya-karyanya kelak tetap diingat sebagai karya sastra di tempat khusus sastra juga.
Setelah hunting lokasi, akhirnya kawasan Aie Angek itu yang dipilih. Mengapa di Sumatera Barat? Hal itu tidak terlepas dari asal sang pujangga yang memang lahir di Tanah Andalas. Bergelar datuk panji alam khalifatullah, ibunda Taufiq berasal dari Pandai Sikek yang dikenal sebagai tempat orang-orang pandai menenun. Daerah tersebut kira-kira setengah jam perjalanan dari Aie Angek.
’’Hunting lokasi ini membutuhkan waktu lama. Sebab, awalnya Bapak ingin di Pandai Sikek, tempat dia berasal. Namun, ternyata di sana tidak cukup representatif. Akhirnya temapt ini yang dipilih,’’ terang Yuli –sapaan akrab Sillia Wahyulli.
Tantangan selanjutnya adalah bagaimana memindahkan koleksi buku-buku dari kediamannya di Jakarta ke tempat tersebut. Atas usul seorang kawan, koleksi Taufiq dikirim dengan menggunakan truk. ’’Karena pakai truk, tidak hanya buku yang dikirim. Lemari-lemarinya juga dikirim,’’ jelas Yuli.
Dibutuhkan belasan truk untuk mengangkut koleksi Taufiq dari Jakarta menyusuri Lampung, Palembang, Jambi, hingga berakhir di Rumah Puisi tersebut. ’’Sebelum buku-buku itu dikirim, Pak Taufiq berpesan kepada sopirnya. Beliau tidak mementingkan buku sampai dengan cepat. Yang terpenting adalah seluruh koleksinya aman,’’ ungkap Yuli.
Pengunjung tidak dikenai biaya alias gratis untuk masuk Rumah Puisi. Begitu masuk, yang tersaji adalah berbagai karya sastrawan ternama. Koleksi Taufiq yang sudah puluhan tahun pun berhias dengan indah dalam pigura di sudut-sudut ruangan.
Salah satunya, karyanya yang fenomenal Dengan Puisi, Aku diletakkan berdampingan dengan terjemahan karya tersebut dalam tiga bahasa yang lain. Yakni, Belanda, Rusia, dan Inggris.
Dengan puisi aku bernyanyi, sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta, berbatas cakrawala Dengan puisi aku mengenang, keabadian yang akan datang Dengan puisi aku menangis, jarum waktu bila kejam meringis Dengan puisi aku mengutuk, nafas zaman yang busuk Dengan puisi aku berdoa, perkenankanlah kiranya (1965, Taufiq Ismail)
Kesohoran Rumah Puisi milik Taufiq Ismail menyebar hingga mancanegara. Khususnya bagi mereka yang memang mengagumi karya sastra. Dalam sebulan, menurut Yuli, ada saja orang yang datang dari luar negeri. Misalnya, Thailand, Malaysia, Jerman, Australia, Iran, Inggris, dan Amerika Serikat (AS). Umumnya mereka datang untuk melakukan penelitian atau meminjam koleksi Taufiq untuk kepentingan tugas.
’’Selama masih dibaca di lokasi, tentu kami tidak keberatan. Tapi, semua koleksi yang ada di sini tidak bisa dipinjam untuk dibawa pulang. Kami khawatir tidak kembali,’’ jelasnya.
Tidak sekadar museum yang menyajikan buku-buku dan karya sastra, tempat tersebut juga menjadi semacam tempat pertemuan guru bahasa dan sastra Indonesia se-Sumatera. Setiap akhir bulan digelar diskusi sastra dengan menghadirkan murid-murid dari beberapa sekolah. Hal itu sejalan dengan tujuan awal Taufiq yang menginginkan anak-anak Indonesia terbiasa dengan sastra. Bahkan, untuk hal tersebut, Taufiq meletakkan hasil penelitiannya dalam media banner besar di ruang diskusi rumah tersebut. Isinya, perbandingan kebiasaan membaca buku sastra anak-anak di beberapa negara.
Dari paparan itu terungkap fakta yang mengejutkan tentang frekuensi membaca buku sastra anak-anak sekolah menengah atas (SMA) di 13 negara sejak 1986 hingga 2008. Siswa SMA di Thailand Selatan, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, misalnya, wajib membaca lima hingga tujuh buku dalam rentang waktu 1–3 tahun.
Sementara itu, siswa SMA di Rusia, Kanada, Jepang, Swiss, dan Jerman wajib membaca 12–22 buku dalam kurun yang sama. Siswa SMA di Prancis, Belanda, dan AS bahkan diwajibkan untuk membaca minimal 30 buku dalam waktu 2–3 tahun.
Sedangkan siswa SMA di Indonesia hanya membaca 25 buku pada periode 1929–1942. Itu masih lebih baik daripada kondisi sekarang. Menurut hasil penelitian antara 1943 hingga 2008, siswa SMA Indonesia hanya membaca nol buku.
Sekali dalam sepekan diadakan latihan menulis sastra. Itu dikhususkan untuk anak-anak belia. Hasilnya luar biasa. Beberapa anak mampu melahirkan buku sendiri di usia mereka yang belum genap 15 tahun.
Selain bangunan utama, di kawasan 2 hektare itu juga berdiri dua rumah yang lain. Namanya, Rumah Pantun dan Rumah Gurindam. Rumah-rumah tersebut setiap harinya disewakan untuk tempat beristirahat. Dua rumah itu masing-masing memiliki dua dan empat kamar. ’’Ini kan sekarang termasuk lokasi wisata. Jadi ada saja yang memang menyewa untuk menghabiskan waktu bersama keluarga,’’ kata Yuli.
Nanti pendapatan dari persewaan kamar itu digunakan untuk membiayai pengoperasian Rumah Puisi. Misalnya, untuk membayar air, listrik, dan maintenance yanglain. ’’Pak Taufiq mewanti-wanti, segala kegiatan di Rumah Puisi harus digratiskan. Beliau menganggap ini adalah warisan yang harus dinikmati banyak pihak,’’ jelas dia. (Panji Dwi Anggara/c4/ca)
Sumber: Jawa Pos
0 komentar:
Posting Komentar