Selasa, 26 Agustus 2014

Kronik 26 Agustus 2014

Setelah diurapi teriknya sinar matari selama beberapa hari terakhir, pagi ini mendung menaungi kota Luwuk. Angin kelabu tua berkumpul di ufuk timur dan barat, sementara Bukit Halimun tampak dihujani gerimis lembut. Saya masih membaca komik Whistle di ruang tamu seraya menunggu anak-anak yang sedang mandi dan bersiap ke sekolah. Kronik ini sedianya akan saya buat tadi malam (25/8) namun urung karena laptop saya tinggalkan di kantor.

Peresmian Rumah Baca Jendela Ilmu tinggal menghitung hari, sementara masih banyak persiapan yang belum dikerjakan. Dana untuk menyewa tenda, kursi, dan juga konsumsi masih belum ada. Uang pribadi saya pun menipis, sementara uang bantuan dari teman-teman masih saya fokuskan untuk membiayai pengiriman buku-buku dari Jawa ke Luwuk. Berdasarkan penuturan adik saya, masih ada sekitar lima dus buku yang tersisa di Jurangmangu. Dengan tingginya tarif ongkos kirim menuju Luwuk, sejumlah angka yang cukup besar sudah terbayang-bayang di kepala saya. Meski begitu, saya bersyukur karena di sela-sela kesulitan yang ada, Allah mengirimkan kemudahan demi kemudahan yang membuat semangat saya jadi berlipat. Oleh karenanya, saya ingin memelihara kegembiraan di dalam hati ini dengan menuliskan kemudahan-kemudahan yang datang tersebut. Semoga Anda, para pembaca, masih setia mengikuti tulisan ini, entah sampai kapan.

Kronik pertama adalah kerja bakti pada hari Ahad (24/8) kemarin. Pagi masih berusia muda di Muspratama namun matari sudah begitu terik. Saya masih menstempel buku-buku di ruang tamu saat pak Zul (Zulhardi Nursin) masuk ke halaman rumah sambil menenteng peda (golok panjang) di tangannya. Ia berdiri dengan ragu-ragu di tempat parkir dan karenanya langsung saya sapa untuk masuk ke dalam rumah dulu sambil melihat-lihat buku.

“Belum ada yang datang, pak,” kata saya kepada pak Zul yang sedang berdiri di pintu masuk sambil melihat ke sekeliling ruang tamu saya yang masih berantakan. Ia meletakkan pedanya di teras dan masuk ke dalam rumah, melihat-lihat buku di lemari, bertanya apakah ada buku Sam Kok, yang saya jawab dengan tidak ada, lalu berjalan lagi ke samping dan meraih sebuah buku Robert Harris. Ia duduk sebentar di kursi ruang tamu sementara saya masih sibuk menstempel buku. Tak sampai sepuluh menit, saya akhirnya memutuskan untuk mengakhiri pekerjaan menstempel buku dan meminjam peda kepada pak Zul yang masih berkutat dengan buku di tangannya.

Semak-semak di depan rumah sudah dibersihkan
“Coba saya mo tes dulu ini peda,” kata saya sambil melangkah keluar. Pak Zul ikut ke luar rumah dan duduk di teras masih dengan buku di tangannya sementara saya berjalan ke halaman rumah kosong yang ditumbuhi tanaman liar yang sudah meninggi. Tak sampai lima menit menebas-nebas batang pohon entah apa namanya, pak Zul ikut bergabung dan meminta kembali pedanya. Ia lalu sudah sibuk menebasi semak sementara saya mengangkuti potongan pohon yang ditinggalkannya. Tak seberapa lama, pak Basri yang anggota Polantas dan Pai datang dan tanpa dikomando langsung sibuk menebasi pohon-pohon. Berturut-turut datang pak Sofyan, pak Luqman, dan pak Kus. Berhubung saya tidak punya peda, jadi saya hanya mengangkuti semak-semak yang sudah diparas ke satu tempat dan membakarnya.

Tanjakan ke Muspratama yang dulunya dipenuhi semak juga sudah diparas

Beberapa peserta kerja bakti yang masih tersisa
 Sekitar dua puluh menit kami bekerja, warga lain pun berdatangan. Teh manis, sirup melon, dan pisang goreng panas sudah tersaji. Pak Zul, yang sebelumnya pamit pulang sebentar, kembali datang dengan penyemprot rumput. Saat kami sedang duduk-duduk dan beristirahat, kemudian datang om Peki, pak Soleh dan bapak-bapak dari blok atas. Semak-semak yang ada di sepanjang tanjakan ke Muspratama pun turut diparas sampai rapih. Salah seorang warga membawa mesin pemotong rumput sehingga pekerjaan jadi lebih mudah. Sekitar satu jam kemudian, pekerjaan selesai. Beberapa warga sudah ada yang pulang sementara sekitar sepuluhan warga masih duduk di dego-dego (semacam gardu) untuk membahas banyak hal. Pak Utin datang terlambat dan langsung mengambil sekop untuk membersihkan tumpukan tanah di plat duiker yang masih terbengkalai sementara saya dan lima orang warga lainnya sedang asyik menikmati pisang goreng dan rempeyek kacang. Obrolan yang berlangsung di antara kami tidak jauh-jauh dari politik, olahraga, keuangan, dan rencana-rencana pengembangan komplek BTN Muspratama. Ada beberapa usulan dari warga terkait pengelolaan sampah terpadu, soal kurban, soal TPA anak-anak, dan juga soal rumah baca. Sebagai warga termuda yang ada di dego-dego itu, saya lebih banyak menyimak dan merespon perkataan dari bapak-bapak yang usianya lebih senior daripada saya. Saya ingin mengorek situasi yang berkembang di komplek ini lebih jauh, karena bagaimanapun saya masih terhitung warga baru di sini. Belum genap dua tahun sejak saya pertama kali pindah tahun 2012 silam.

Acara kerja bakti itu selesai sekitar pukul sepuluh. Saya mengucapkan terima kasih atas partisipasi bapak-bapak dan kami kembali ke rumah masing-masing. Pak Luqman dan om Peki membantu saya membawakan baki berisi gelas, ceret teh, teko plastik, dan toples peyek. Rumput dan semak yang memenuhi halaman rumah kosong di depan rumah saya dan di sepanjang jalan menurun ke BTN Nusagriya sudah diparas dan tampak rapih. Semilak, kalau orang Jawa bilang.

Sang Penyampul
Sebelum zuhur, rumah kami kedatangan tamu. Ada empat orang: Ani, Ati, Mila, dan Nisa. Kesemuanya datang dengan niat yang sama: menyampul buku. Saya membiarkan mereka disambut oleh istri saya dan saya memilih untuk beristirahat di kamar. Kira-kira pukul setengah dua keempat orang tamu itu pulang. Ada banyak sekali buku yang mereka sampul. Selain keempat perempuan tersebut, ada juga Mama Arjun yang rajin mondar-mandir ke rumah untuk mengambil buku-buku yang bisa disampulnya di rumahnya. Selain itu, ia juga sering meminjam buku yang dibacanya dengan semangat. Istri saya kadang merekomendasikan beberapa judul buku untuk dibacanya. Sementara Arjun, anak sulungnya, setiap habis maghrib selalu mengaji qur’an bersama istri saya. Anak itu juga rajin membaca buku komik dan majalah yang ada di rumah.

Pada hari Senin(25/8) pagi, saya bertemu dengan pak Hertasning. Surat Undangan yang saya titipkan kepada beliau sudah ditandatangani oleh pak Wakil Bupati. Kami berbincang sedikit perihal persiapan dan hal-hal teknis menjelang hari peresmian pada tanggal 2 September. Pak Hertasning juga menitipkan sejumlah uang kepada saya. “Titipan dari Pak Herwin,” ujarnya. Saya mengucapkan terima kasih dan menitipkan salam untuk pak Herwin. Saya lalu pamit untuk mengantarkan surat itu kepada mas Ali di percetakan Mitra. Pagi ini (26/8), sekitar 60 buah surat undangan sudah siap diedarkan. Meski cuaca di Luwuk sedang hujan deras tadi pagi, istri saya, yang saya tugasi untuk mengantarkan undangan-undangan itu, berhasil mengantar beberapa undangan ke alamat-alamat terdekat yang bisa dijangkaunya saat hujan sedikit mereda.

Malam ini, bakda maghrib di masjid Ar Rahman Muspratama, saya dan beberapa jama’ah bapak-bapak berbincang seputar persiapan teknis. Dengan semakin dekatnya waktu peresmian dan belum banyaknya persiapan yang dilakukan, saya merasa perlu untuk mengundang bapak-bapak dan ibu-ibu untuk mengadakan pertemuan pada hari Rabu (27/8) besok. Pak Saleh, imam masjid, dan pak Sofyan, ketua takmir, setuju dan disepakati akan diadakan rapat antara pengurus majelis taklim bapak-bapak dan ibu-ibu untuk bertemu bakda maghrib besok.

Sebenarnya masih ada banyak lagi yang ingin saya tuliskan di sini, utamanya tentang koleksi buku yang semakin bertambah dan saya masih belum sempat mendatanya satu persatu. Rabu besok, agenda saya cukup padat. Selain mengantar undangan ke beberapa nama yang akan saya temui secara personal, saya juga perlu bertemu dengan beberapa pihak yang akan terlibat dalam acara tersebut secara langsung. Semoga ada hasil positif dan produktif dari undangan-undangan yang sudah disebar tersebut. Amin. [rbjendelailmu]


Luwuk, Agustus 2014

0 komentar:

Posting Komentar