Minggu, 03 Agustus 2014

Kronik Rumah Baca: 4 Agustus 2014

Kantor Pelayanan Pajak Pratama Luwuk masih sepi. Motor-motor yang ditinggal pemiliknya mudik masih terparkir dengan setia di belakang. Debu-debu menyelimuti jok kulit dan permukaan lainnya. Sambil membopong kardus berisi printer yang sengaja saya bawa dari rumah, saya melangkah dengan tergopoh-gopoh ke lantai tiga. Saya bertemu dengan ibu Liam, Anto, Piter, dan melangkah lebih dalam ke ruangan PDI. Hanya ada Ance dan Faisal, Operator Console anyar kantor ini, sedang duduk di kursi mereka masing-masing. Saya naik ke lantai dua dan celingak-celinguk sebentar seperti mencari sesuatu dan saya kembali melihat mas Ari, pegawai baru kantor ini, sedang duduk di sofa di depan pintu ruangan Kasubag Umum. Saya naik ke atas dan masuk ke dalam ruangan yang disesaki aroma berkas dan debu.

Pagi ini saya masih sendirian di dalam ruangan. Supervisor saya, mas Rahmat, dan ketua tim sebelah, mas Pavit, masih belum nampak. Saya meletakkan kardus berisi printer di meja saya yang layaknya kapal pecah. Kertas-kertas aneka rupa berceceran, pulpen dan pensil tergeletak begitu saja dengan pasrah di atas meja, paper clip dan aneka map berwarna hijau dan kuning teronggok di permukaan meja. Saya memasang laptop dan segala tetek-bengeknya, menyalakannya dan online sebentar. Membaca-baca pesan yang masuk, membaca-baca artikel yang berseliweran, menulis-nulis sesuatu di laptop, lalu berjalan sebentar ke arah dispenser yang masih mati. Saya menyalakannya dan berjalan lagi ke meja tempat piring, gelas, dan membuka laci yang berisi ransum seperti permen, kopi instan, dan semacamnya. Rasa-rasanya, sudah lama sekali saya tidak minum kopi pagi-pagi begini. Saya memang jarang minum kopi. Kalau dihitung-hitung mungkin hanya enam atau tujuh bungkus kopi instan saja setahun. Iya, Anda tidak salah baca: SETAHUN. Saya tidak suka kopi hitam, sebenarnya saya tidak begitu suka kopi apapun, entah kenapa. Tapi pagi ini saya ingin ngopi dulu. Setelah mengambil sebungkus kopi instan dari dalam laci dan cangkir keramik putih milik saya yang berjejer rapi di salah satu sudut meja, saya kembali duduk di bilik kerja saya. 

Sambil menunggu air panas di dispenser, saya kembali menatap layar laptop. Membaca-baca artikel lagi sembari membalas beberapa postingan di facebook. Saat sedang asyik membaca, pak Alex dan mas Radit, account representative dari seksi Waskon 3 datang. Saya sudah berlebaran dengan mas Radit saat shalat Jumat di Masjid Pancasila tempo hari sedangkan pak Alex saya temui di lobi bawah saat hendak menyetor absen tadi pagi. Mereka berdua mencari mas Rahmat dan mas Pavit, saya sampaikan bahwa keduanya belum ada lalu mereka berdua pamit keluar.

Beberapa menit kemudian, air panas yang saya tunggu sepertinya sudah siap. Saya merobek bungkus kopi instan dan menuangkannya ke dalam cangkir putih. Aroma khas kopi instan menyapa indra penciuman saya. Saya berjalan ke arah dispenser dan mengisi sepertiga cangkir dengan air panas. Bau uap kopi langsung menyeruak memenuhi ruangan. Saya mengaduk-aduk cangkir dengan sendok dan ketika sudah yakin air panas dan kopi tercampur rata, saya mengisi dua pertiga cangkir dengan air dingin. Saya memang tidak terlalu suka minuman yang terlalu panas.

Ketika hendak berbalik ke meja kerja, saya memandangi pendingin ruangan yang ada di dekat meja mas Rahmat masih mati. Saya mencari remote yang tergeletak di meja tempat ransum dan memencetnya berkali-kali. Masih mati. Ternyata baterai di dalam remote itu kosong. Saya memaki diri sendiri dan jelalatan mencari baterai. Tak berhasil. Saya mendekati AC dan mencari-cari tombol ON di dekat situ. Tak berhasil juga. Saya menyerah dan tidak tertarik melanjutkan perjuangan menghidupkan AC lalu kembali ke ruang kerja saya. Tak sampai beberapa menit duduk, listrik kantor mati. Hal yang biasa terjadi di kota kecil ini. Sambil menyesap kopi yang hangat-hangat kuku, saya meraih buku Senja di Jakarta dan mulai membaca. Membaca buku saat mati listrik di kantor adalah kegiatan favorit saya. Daripada mati gaya lebih baik baca buku. Tadinya saya mau menulis “tilawah qur’an” saja, tapi berhubung nanti ada yang kurang berkenan jadi saya ganti dengan “baca buku” hehehe.

Tidak sampai dua menit saya membaca, Dhipo, anak seksi RIKI, datang. Kami berlebaran dan berbasa-basi sejenak. Bertukar kabar seperlunya dan ia pamit keluar. Saya melanjutkan bacaan yang tertunda sampai tak seberapa lama kemudian listrik kembali menyala. Suara raungan printer yang ada di pojok ruangan menjadi penanda bahwa kabel-kabel ini sudah teraliri listrik. Saya meletakkan buku yang sedang saya baca dan menyalakan laptop antik saya kembali. Sembari menunggu booting, saya melanjutkan bacaan saya yang tertunda. Saat layar laptop menunjukkan halaman login, saya meletakkan kembali buku di tangan dan kembali berkutat dengan rencana mengkronik rumah baca yang telah saya rencanakan.

Hari Sabtu (2/8) kemarin, rumah (istri) saya kedatangan tamu: Devi dan Enny. Enny adalah warga BTN Nusagriya yang tempo hari pernah saya ceritakan sebagai relawan penyampul buku di sini, sedangkan Devi adalah, bagaimana saya harus menceritakan kawan yang satu ini, seorang blogger yang tinggal di Luwuk. Ia bekerja di Pegadaian. Singkat cerita, kedatangan kedua perempuan muda ini ke rumah adalah untuk mengantarkan buku-buku yang hendak didonasikan Devi untuk rumah baca ini. Saya dan Devi memang sudah berkoordinasi satu dua hari sebelumnya bahwa ia akan datang ke rumah untuk mengantar buku. Setelah berkompromi soal waktu, datanglah ia sore itu bersama Enny.

Di sela-sela pertemuan, Devi berkata bahwa kebanyakan dari buku-buku itu adalah lungsuran dari seseorang-yang-tidak-boleh-disebut-namanya. Berhubung teronggok begitu saja di rumah, maka ia ingin memberikannya kepada kami supaya bisa bermanfaat. Selama sekitar satu jam mereka berdua bertamu dan suara tarhim yang berkumandang di langit Kilongan menjadi penanda bahwa mereka hendak pamit pulang. Enny berkata kepada saya bahwa ia siap menyampul buku-buku lagi bilamana diperlukan. Saya mengucapkan terima kasih atas tawarannya dan pemberian yang berharga ini dan, bersama istri, melepas kepergian kedua perempuan muda tersebut. Setelah mereka berdua pulang, saya baru teringat kalau pertemuan sore ini belum didokumentasikan. Ah, bodohnya saya sampai lupa dengan hal sepenting ini.

Adzan Maghrib dari masjid Muspratama sudah berkumandang. Saya melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu, lalu mengenakan baju koko dan berjalan ke masjid. Berhubung pak Soleh dan pak Heri tidak nampak, sedangkan pak Utin yang saat itu mengenakan kaos bola sudah bertugas sebagai muadzin, maka saya maju ke mimbar untuk menjadi imam. Selesai Maghrib dan berdoa, saya dan jamaah lain saling bersalaman. Ketika bersalaman, saya menangkap sekilas wajah seseorang yang saya kenal berdiri di balik pilar. Ternyata benar, itu akh Iksan. Ia tersenyum dan menghampiri saya. Kami lalu berlebaran dan berbasa-basi sebentar. Saya bertanya ada gerangan apa dia datang ke masjid ini dan Iksan menjawab bahwa ia sedang mengantarkan seseorang sambil menyorongkan dagunya ke sudut masjid. Saya melihat ada Apin yang mengenakan jersey Turki dan seorang lelaki berjenggot dan berpeci sedang bersiap untuk shalat. Saya memicingkan mata sebentar untuk mengamati wajah lelaki itu dan mulai mengenali sosoknya. Beliau adalah akh Amri, mantan ketua DPP PKS Kabupaten Banggai Kepulauan periode, errrrr saya lupa, dan sekarang sudah menjadi seorang PNS di Banggai (sekarang jadi kabupaten Banggai Laut). Iksan, Amri dan Apin lalu shalat berjamaah sementara saya, pak Utin, pak Sofyan, dan om Puri mengobrol sebentar, membahas rencana pembukaan TPA di masjid ini dan membicarakan tetek bengek kecil tentang peralatan masjid.

Ketiga kawan saya yang datang terlambat itu tampaknya sudah selesai shalat. Saya lalu meminta diri kepada jamaah lainnya yang masih mengobrol, berkata kepada mereka bahwa saya kedatangan tamu yakni tiga orang yang shalat terlambat barusan. Mereka menyilakan saya pulang. Saya lalu bersalaman kepada Apin dan Amri, menanyakan kabar dan sebagainya dan sebagainya seraya mencari tahu ada gerangan apa ketiga orang ini tumben-tumbennya datang ke rumah saya. Saat kami berempat sudah ada di rumah (istri) saya, ternyata kedatangan mereka bertiga adalah hendak bersilaturahim. Saya merasa agak sedikit tidak enak khususnya kepada Amri dan Iksan karena usia saya yang jauh lebih muda dari mereka berdua tapi justru saya yang didatangi. Amri bercerita sedikit bahwa ia baru saja pulang dari Makassar tadi pagi dan sambil menunggu kapal ke (pulau) Banggai yang akan berangkat malam ini, ia menyempatkan diri untuk berkeliling sebentar kepada teman-temannya di Luwuk. Kedatangannya ke rumah saya ternyata menyimpan misi khusus. Tapi saya tidak akan tuliskan soal itu di sini hehe..

Di rumah saya yang tak memiliki sofa, kami berempat duduk melantai sambil menikmati kue kering dan peyek kacang. Kami berbincang banyak tentang perkembangan situasi politik di daerah ini, tak ketinggalan juga riuh-rendah saat perhelatan pilpres yang baru saja selesai – meski sampai detik ini masih akan berlanjut entah sampai kapan, dan tema-tema bebas lainnya, termasuk tentang buku-buku yang berjejer di lemari buku saya yang ada di ruang tamu. Iksan dan Apin adalah pengurus DPD PKS Kabupaten Banggai yang terlibat secara langsung sebagai tim saksi pasangan Prabowo-Hatta untuk wilayah ini tempo hari, dan darinya saya mendapatkan beberapa informasi menarik terkait sunyi-senyapnya kiprah saksi PKS di daerah-daerah karena sangat sedikit dari mereka yang mendokumentasikan kiprahnya dalam bentuk tulisan. Saya memberikan masukan kepada teman-teman di PKS bahwa sesibuk apapun mereka, maka sempatkanlah untuk menulis. Tulis apa saja yang ringan-ringan, termasuk juga rekaman tentang kiprah mereka di dalam partai selama ini. Terlalu banyak orang yang sok tahu tentang partai ini berbicara seenak dengkul mereka di media yang lebih banyak ngaconya ketimbang benarnya, sementara orang-orang PKS sendiri yang berada dalam pusaran aktivitas tak banyak yang menuliskan apa yang sudah mereka kerjakan selama ini kepada khalayak umum. “Cobalah buat tulisan yang ringan, tentang sisi humanis teman-teman saksi dari PKS, bagaimana lelahnya mereka bekerja demi menjaga satu dua suara, bagaimana mereka tetap menjaga kesehatan jasmani dan ruhiyah mereka di sela-sela kesibukan itu, bagaimana mereka tetap menjaga agar dapur keluarga tetap ngebul kendati waktu mereka habis di lapangan dan sebagainya dan sebagainya” adalah pesan-pesan yang coba saya sampaikan kepada mereka. Kebetulan, sebenarnya tidak ada kebetulan, Apin dan Iksan punya basic jurnalistik. Iksan malah pekerjaan primernya adalah wartawan sebuah media di Sulawesi Tengah dan karenanya dunia tulis-menulis bukan sesuatu yang asing dengan mereka.

Selain obrolan soal politik, kami juga mengobrol soal buku. Amri bertanya perihal spanduk yang terpasang di depan rumah dan saya berkata padanya bahwa saya berencana membuat rumah baca di sini. Ia tampak senang dengan ide saya dan mulai bercerita tentang istrinya yang, menurut redaksinya, “kuat baca buku”. Ia juga bercerita tentang tempat penyewaan buku yang ada di Banggai. Saya senang mendengar cerita seperti ini dan berpesan kepadanya agar selalu mendukung minat istrinya. “Kalau saya pergi ke luar kota yang dia minta cuma oleh-oleh buku, baik baru maupun bekas, bukan oleh-oleh lain” timpalnya kemudian.

Adzan Isya menghentikan obrolan kami malam itu. Sepanjang perjalanan menuju masjid saya melanjutkan perbincangan dengan Amri, kebanyakan hal-hal remeh. Saat saya masuk ke dalam masjid, shalat baru saja dimulai. Heri van Gobel yang bersuara emas itu menjadi imam. Tak ada pak Soleh dan pak Sofyan di barisan shaf. Amri berkata bahwa ia akan menunggu di teras karena sudah shalat jamak tadi. Selepas Isya, kami berpisah. Di depan pintu gerbang masjid yang bercat hitam, ketiga tamu saya tadi pamit. Saya mengucapkan terima kasih atas kedatangan mereka dan mengamati motor yang mereka tunggangi menjauh dan menikung ke jalanan yang makin menurun. Saya kembali masuk ke masjid dan mengobrol dengan Heri dan Utin. Malam ini harusnya kami bersilaturahim ke rumah pak Soleh, bersama takmir masjid, pak Sofyan. Namun kedua nama yang saya sebutkan tidak nampak shalat isya di masjid. “Mungkin sedang keluar”, kata saya kepada Utin. Kami bertiga lalu memutuskan untuk pulang ke rumah.

Sambil berjalan ke rumah, saya memandangi langit malam yang makin menggelap. Seekor kunang-kunang terbang melintasi rimbunnya pepohonan yang ada di seberang masjid. Selama nyaris dua tahun tinggal di Muspratama, baru kali ini saya melihat kunang-kunang. Ekornya yang kerlap-kerlip terbang semakin dalam ke rerimbunan yang gelap. Saya memandang pulau Peling di kejauhan. Lampu-lampu yang mengambang di atas permukaan laut tampak seperti sebuah kota. Langit malam tampak cerah. Cahaya jingga yang menyembul dari balik bukit yang menghitam berangsur menghilang. Malam itu indah sekali. [rbjendelailmu]


Luwuk, Agustus 2014 

0 komentar:

Posting Komentar