Pagi ini saya menyegera datang ke kantor demi mencari sesuatu. Sesuatu itu adalah koran Luwuk Post edisi entah kapan, yang beberapa hari lalu saya lihat secara sekilas memuat berita yang berhasil menyedot perhatian saya. Kalo saya tidak khilaf, ada berita tentang pengadaan buku oleh Perpustakaan Daerah ketika itu. Berhubung kantor tempat saya bekerja berlangganan Luwuk Post, saya yakin kalau koran yang memuat potongan berita itu ada di sana, di ruang sekretaris.
Setiba di kantor, saya langsung naik ke lantai dua tempat ruangan sekretaris berada. Ruangan itu masih kosong. Pendingin ruangannya belum lagi menyala. Saya masuk ke dalam, menaruh helm dan tas kain berisi buku yang saya bawa dari rumah, lalu duduk di kursi sambil menghadap meja yang dipenuhi dengan koran Luwuk Post edisi terbaru dan hari Sabtu (12/7) lalu. Tumpukan koran Luwuk Post lama yang ada di salah satu sudut meja langsung saya ambil. Setelah membolak-balik beberapa lembar koran, akhirnya saya dapatkan juga koran yang saya cari-cari sejak beberapa hari yang lalu itu.
Adalah koran Luwuk Post edisi Sabtu 5 Juli 2014 yang memuat berita tersebut di bagian Metro Luwuk halaman 8. Perpustakaan Daerah Usulkan Pengadaan Buku, demikian judul tulisan tersebut. Nampak dua buah foto yakni foto kepala Perpustakaan Daerah Bapak Kamil Datu Adam dan foto aktivitas pegawai perpustakaan yang sedang mengatur aneka buku mengapit tulisan pendek berisi empat paragraf tersebut. Saya lalu mengambil koran itu dan menekurinya.
Di satu sisi, saya sangat mengapresiasi keprihatinan bapak Kamil – bolehkah saya sebut beliau dengan nama ini? – terhadap kondisi perpustakaan daerah yang masih jauh dari ideal. Sebuah keprihatinan yang juga saya rasakan terhadap salah satu aset daerah yang sangat berharga itu. Saya juga sangat mendukung upaya pengadaan buku yang beliau canangkan agar bisa kembali mengisi rak-rak buku yang masih lowong paska kebakaran hebat di awal bulan Januari tahun ini.
Hanya saja, ada satu poin yang hendak saya kritisi dari berita itu. Bila memang Perpustakaan Daerah menghendaki adanya pengadaan buku-buku baru, maka apa yang menjadi dasar pertimbangan bahwa buku berjudul ini dan itulah yang akan diadakan oleh pihak perpustakaan? Dalam kata lain, saat Perpustakan memutuskan untuk membeli buku-buku baru yang kelak akan mengisi rak-rak buku yang berjejalan di dalam sana, apa alasan yang mendasari bahwa buku-buku itu perlu diadakan? Dari mana Perpustakaan mendapatkan “wangsit” bahwa buku-buku itulah yang memang perlu dibeli dan dijadikan sebagai asupan warga kota ini? Apakah buku-buku yang dibeli itu murni inisiatif Perpustakaan, atau ada pertimbangan lain? Kalau ada pertimbangan lain, bagaimana proses kelahiran “pertimbangan” tersebut hingga akhirnya keputusan membeli buku berjudul A, B, dan C itu keluar? Apakah sebelumnya ada kajian internal terlebih dahulu atau ujug-ujug keluar begitu saja secara sepihak? Saya, sejujurnya, ingin tahu lebih banyak mengenai hal ini dan karenanya pertanyaan-pertanyaan itu lantas saya kemukakan kepada publik agar kita bisa sama-sama mengetahuinya.
Saya tentu hendak berprasangka baik bahwa Perpustakaan Daerah diisi oleh orang-orang yang punya kompetensi terbaik dalam bidang pendidikan dan oleh karenanya mereka memahami buku-buku apa yang perlu dibeli untuk dijadikan asupan bergizi bagi generasi-generasi muda di daerah ini. Namun di sisi lain, saya hendak mengekspresikan keprihatinan saya akan abainya masyarakat di kota ini dengan aspek yang cukup penting ini. Prihatin karena ternyata tak banyak yang peduli dengan faktor penting dalam dunia pendidikan: buku. Maka tak heran jika Perpustakaan Daerah membeli buku-buku itu berdasarkan inisiatif mereka sendiri tanpa adanya kontrol dan perhatian dari masyarakat luas, masyarakat yang abai dengan masa depan intelektual mereka sendiri. Atau inisiatif itu mungkin tidak sepihak-sepihak amat, karena bisa jadi Perpustakaan juga meminta pandangan dari pegiat pendidikan di daerah ini, namun karena yang dimintai pandangan hanya dari kalangan yang terbatas, maka cakupan inisiatifnya pun kemungkinan akan terbatas juga.
Dus, ada semacam ironi yang berpotensi muncul dari proses ini: pertama, perpustakaan ingin menggali informasi dari masyarakat tentang buku-buku yang perlu diadakan oleh mereka sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan intelektual warga, namun di sisi lain, masyarakat secara luas tidak diberikan andil yang memadai untuk turut berperan serta aktif; kedua, masyarakat tidak tahu bahwa Perpustakaan sedang menunggu “aspirasi” dari mereka, para warga itu, karena minimnya informasi yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, dalam hal ini Perpustakaan, terkait buku-buku apa saja yang perlu diadakan oleh Perpustakaan untuk mengasistensi pengayaan intelektual warga di daerah ini.
Terakhir, saya ingin menyarankan kepada Perpustakaan agar di kemudian hari ketika mereka ingin melakukan pengadaan buku, maka cobalah untuk menyerap aspirasi dari masyarakat terlebih dahulu; buku-buku macam apa yang mereka kehendaki, apa saja judulnya, dan hal-hal teknis lain. Upaya ini bukan dimaksudkan untuk mengurangi legitimasi dan meragukan kompetensi Perpustakaan, bukan. Tapi upaya ini adalah cara untuk menyematkan rasa memiliki yang kuat dari masyarakat di daerah ini terhadap salah satu aset daerah yang sangat berharga: perpustakaan, dan relasi-relasi positifnya dengan kehidupan mereka di masa mendatang. Munculnya berita tentang pengadaan buku sebagaimana yang sudah saya sebutkan di atas semoga bisa dijadikan semacam umpan untuk memancing respon dari masyarakat tentang kepedulian mereka akan masa depan dunia pendidikan di daerah ini. Saya berharap seperti itu.
Tulisan ini dimuat di harian Luwuk Post edisi 15 Juli 2014
Sumber: wahidnugroho.coom
0 komentar:
Posting Komentar