Peristiwa demi peristiwa yang hadir di ruang waktu kita
secara bertubi-tubi akhir-akhir ini sebenarnya bisa jadi semacam trigger yang sangat bagus untuk meluaskan
cakrawala berpikir sekaligus meningkatkan perbendaharaan pengetahuan kita agar
ke depan kita bisa berpikir dan berlaku bijak sebelum bersikap. Apalagi jika
sikap itu kita tunjukkan ke muka publik yang menuntut level pertanggungjawaban
berbeda dengan sikap yang hanya ditunjukkan pada kalangan terbatas, dan
homogen.
Coba lihat hingar-bingar quick count yang tiba-tiba saja
mengisi ruang waktu kita, baik di dunia maya maupun nyata. Obrolan-obrolan tentang
perkembangan rekapitulasi suara pelbagai versi berlangsung di teras masjid, di
dego-dego, di kios, di pasar, di dalam rumah, bahkan saat ceramah mubaligh
berlangsung ketika shalat tarawih menjadi indikator-indikatornya.
Awalnya saya tertarik mengikuti perkembangan yang ada dan sesekali
ikut larut dalam kegaduhan itu. Istri saya pun tak ketinggalan. Ia kerap
bertanya tentang kondisi ‘perang’ klaim yang berlangsung secara banal di
media-media yang seharusnya mencerdaskan masyarakat, bukan justru membuat
bingung mereka. Tapi pada akhirnya, saya merasa bahwa diskusi yang ada bukannya
semakin ilmiah dan berjalan dengan kepala dingin, tapi justru sebaliknya. Orang-orang
yang dulu terkenal dengan objektifitasnya mendadak mengeluarkan statement
profan yang malah menghancurkan nama baik yang telah lama disandangnya. Para peneliti
yang identik dengan nalar dan logika berbalik menjadi manusia bergelimang nafsu
merasa benar sendiri dan mengkooptasi kebenaran hanya miliknya pribadi dan
bukan sebaliknya. Benar-benar melelahkan.
Itulah sebabnya, saya berkata kepada istri agar tak lagi
menghiraukan hiruk-pikuk yang ada di media, dan fokus saja dengan tugas yang
sedang diembannya saat ini. Saya juga berpesan kepada teman-teman saksi dari
PKS yang sedang merekap formulir C1 sepanjang siang dan malam agar tetap fokus
dengan kerja mereka dan tidak menghiraukan kegaduhan yang sedang terjadi di
luar sana.
Di luar itu semua, saya merasa perlu untuk menuliskan
beberapa progres terkait Rumah Baca Jendela Ilmu yang bayangannya kerap menguasai
hari-hari saya. Sebagaimana yang telah saya kronik di blog ini tempo hari, ada
banyak kabar gembira yang datang kepada saya terkait perkembangan Rumah Baca. Soal
ini nanti akan saya tulis secara lebih rinci di bagian tersendiri.
Khusus dalam tulisan ini, saya ingin menuliskan beberapa rencana saya ke depan. Rencana ini perlu saya dokumentasikan di blog ini agar ada semacam "tagihan" yang dapat dilihat setiap waktu dan karenanya harus saya penuhi agar tagihan itu tidak jatuh tempo dan terlupakan.
Dus, berikut adalah rencana saya.
Khusus dalam tulisan ini, saya ingin menuliskan beberapa rencana saya ke depan. Rencana ini perlu saya dokumentasikan di blog ini agar ada semacam "tagihan" yang dapat dilihat setiap waktu dan karenanya harus saya penuhi agar tagihan itu tidak jatuh tempo dan terlupakan.
Dus, berikut adalah rencana saya.
Akhir pekan ini, saya berencana untuk mengunjungi Sekretaris
Lurah Kilongan Permai. Saya belum tahu siapa namanya. Yang saya tahu beliau
tinggal di komplek BTN Nusagriya, tak jauh dari rumah saya. Ada beberapa poin
yang ingin saya sampaikan kepadanya perihal rencana merealisasikan Rumah Baca
ini menjadi nyata termasuk meminta masukan dan pertimbangan yang siapa tahu
bisa berguna ke depannya. Saya merasa bahwa usaha ini tidak akan sanggup saya emban
sendirian. Bukan karena saya pesimis dan tidak yakin dengan ide saya, bukan. Lebih
karena saya ingin menyinergikan potensi-potensi yang ada masyarakat sehingga
mereka bisa berperan aktif dalam usaha ini. Selain itu, dengan melibatkan lebih
banyak orang, saya ingin melebarkan informasi tentang Rumah Baca ini ke lebih
banyak pihak supaya saya bisa menggali sumber-sumber donatur yang bisa diajak
bekerja sama, termasuk calon relawan yang siap untuk mengembangkan
kegiatan-kegiatan yang sudah saya susun, atau mungkin dikoreksi dan diperbaiki.
Selain akan berkunjung ke Sekretaris Lurah Kilongan Permai,
saya juga berniat untuk bersilaturahim dengan Kak Ayat (Hidayat Monoarfa, Aleg
DPRD PKS 2009-2014) yang dulu pernah saya ajak bicara panjang lebar mengenai pandangan
saya tentang dunia perbukuan di Luwuk. Saya merasa perlu berbicara dengannya
supaya saya punya sedikit “modal” untuk menemui pihak lain yang rencananya juga
akan saya temui, Kepala Perpustakaan Daerah, Bapak Kamil Datu Adam. Semua hal
yang saya tuliskan di bagian ini masih sebatas rencana dan saya juga masih
mencari-cari waktu yang cocok untuk bertemu dengan orang-orang yang sibuk itu.
Pada akhirnya, saya sadar bahwa usaha meningkatkan minat
baca masyarakat di daerah ini tidak akan mudah. Saya sudah mempersiapkan diri
andaikata usaha saya menemui jalan terjal dan kesulitan dengan membaca kisah
dari orang-orang yang memutuskan untuk berjalan di jalan yang sunyi dan jauh
dari hingar-bingar ini. Saya juga merasa perlu untuk meresonansi semangat saya
dengan istri supaya saya tidak merasa sendiri-sendiri amat karena ada rekan seperjalanan yang siap menguatkan saya ketika
lelah dan menyemangati saya ketika saya bosan. Perjalanan baru akan dimulai.
Semoga Allah mudahkan urusan ini. Amin. [rbjendelailmu]
Luwuk, Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar