Kronik berikut ini awalnya tidak seperti ini. Awalnya saya
menulis “begitu” tapi akhirnya saya berubah pikiran dan menggantinya menjadi “begini”.
Namun berhubung yang tahu begitu dan begininya hanya saya, maka anggap saja
tulisan ini akan jadi begini. Singkat cerita, saya mau sedikit
mendokumentasikan hasil pertemuan saya dengan beberapa orang dalam dua hari
terakhir terkait sosialisasi Rumah Baca Jendela Ilmu yang detik-detik
kelahirannya serasa makin mendekat saja.
Pada hari Senin (21/7) pagi kemarin, saya bertandang ke
rumah seorang teman. Hasil pertemuan itu sudah saya kronik di sini. Saya sepertinya
agak terburu-buru saat mengkronik bagian itu karena ternyata di hari yang sama
saya juga bertemu dan berbincang dengan beberapa orang lainnya. Oleh karenanya,
tulisan berikut ini akan melengkapi tulisan yang sudah saya buat sebelumnya itu
ditambah dengan beberapa perkembangan lainnya yang berlangsung dalam dua hari
terakhir.
Setelah dari rumah Nia, saya lalu ke kantor. Tidak banyak
yang saya lakukan di kantor hari itu selain membaca koran pagi di ruangan
sekretaris, membalasi beberapa pesan di Facebook, melengkapi konten blog ini,
dan kegiatan-kegiatan ringan lainnya. Sekitar jam 11 siang, saya keluar kantor.
Saya mengarahkan mobil ke jalan Pelita. Cuaca agak gerimis waktu itu. Rencananya
saya mau mengantar proposal ke seorang teman yang bekerja di Pegadaian, Devi. Saya
memang sudah berjanji dari jauh-jauh hari untuk mengantarkan proposal itu
kepadanya. Tapi karena satu dan lain hal, saya baru sempat untuk mengantarnya
hari itu. Setiba di depan kantor Pegadaian di Pelita saya lumayan gondok ketika
tahu bahwa tas kain berwarna hitam berisi proposal ternyata tertinggal di
kantor. Padahal awalnya saya kira tas itu sudah ada di jok belakang. Namun karena
saya kurang teliti dan tidak memeriksa dahulu sebelum berangkat, saya lalu
kembali ke kantor untuk mengambil tas itu di ruangan sekaligus shalat zhuhur di mushala kantor. Sebelum zhuhur, saya menyempatkan diri
untuk memeriksa facebook, ternyata ada satu pesan. Dari Devi. Ia bertanya
apakah tadi saya memarkir mobil di depan kantornya, saya jawab iya. Dan saya
ceritakan masalah yang sebelumnya sudah saya tuliskan di atas perihal tas yang
tertinggal. Saya berjanji akan lewat di kantornya lagi sekitar jam setengah dua
atau jam dua. Karena saya berencana untuk mampir ke rumah Ustadz Iswan yang tak
jauh dari situ.
Sekitar jam setengah dua siang, saya kembali ke luar. Kali ini
saya kembali ke jalur yang sebelumnya sudah saya lewati: Jalan Pelita. Cuaca di
Luwuk hujan gerimis. Saat saya memarkir mobil di sisi jalan, saya melihat
Ilham, teman sekantor dari seksi Eksten, sedang berteduh di samping kantor
Pegadaian. Saya menyapanya dan spik-spik sebentar. Setelah itu saya masuk ke
kantor Pegadaian dan menyerahkan proposal Rumah Baca Jendela Ilmu kepada Devi. Pertemuan
itu sangat singkat. Saya hanya melungsurkan proposal itu kepadanya dan langsung
berpisah. Sepertinya dia sedang sibuk jadi saya nggak mencoba untuk membuka
dialog lebih banyak. Padahal saya selalu membuka dialog saat menyerahkan
proposal kepada siapapun.
Keluar dari kantor Pegadaian, saya menelepon Teh Rela,
menanyakan apakah Ustadz Iswan sudah datang dari Palu. Kalau ada, saya
berencana untuk bertemu dengan beliau, ada beberapa hal yang ingin saya
bicarakan. Teh Rela bilang bahwa Ustadz baru saja pulang dan sedang beristirahat.
Saya mengurungkan niat untuk bertandang ke rumah Ustadz dan menunda pembicaraan
yang sudah saya siapkan. Saya menggeser layar handphone, menelepon seorang
teman yang dulu pernah saya ajak diskusi soal dunia minat baca di sebuah masjid
di kelurahan Mendono, kecamatan Kintom: mas Agus.
Mas Agus ini orang Jawa, tapi dapet istri orang lokal. Sama seperti
saya. Beliau bekerja di Bank Syariah Mandiri (BSM) Luwuk. Saya tidak ingat
kapan kali bertemu dengan beliau, mungkin sekitar empat atau lima tahun yang
lalu. Mas Agus ini orang periang dan sangat ramah. Kami sempat mengobrol sampai
berjam-jam waktu di masjid Mendono tempo hari. Ketika itu saya berjanji untuk
kembali bertemu dengannya untuk menyampaikan proposal dari rumah baca yang saya
gagas. Beliau menyetujui dan menunggu.
Siang itu, saya meneleponnya, menanyakan apakah beliau
sedang sibuk atau tidak, dan apakah saya bisa mampir sebentar di kantornya
berhubung saya sedang ada di luar sekarang. Beliau, dengan keramahannya yang tulus,
menyilakan saya datang. Saya lalu memutar mobil ke arah jalan Urip Sumoharjo
dan mencari spot parkir yang cocok. Saat masuk ke dalam kantor BSM, saya
berkata kepada satpam yang berjaga di pintu masuk bahwa saya ingin bertemu
dengan pak Agus. Satpam itu lalu masuk ke dalam ruangan. Beberapa detik
kemudian ia kembali kepada saya dan menyilakan saya masuk ke ruangan itu.
Suasana di lobi BSM lumayan ramai. “Ada pencairan gaji 13 pegawai pemda”, kata
mas Agus kepada saya saat kami berbincang di telepon beberapa menit lalu.
Masuk ke ruangan yang hanya bisa dimasuki pegawai BSM itu
saya lalu berbelok ke kanan. Tampak mas Agus sedang duduk di sana dan menyambut
saya dengan senyum lebar. Kami berbasa-basi sejenak dan mengingat-ingat kembali
tentang obrolan tempo hari saat di masjid Mendono. Mas Agus menyatakan dirinya
bahwa beliau siap membantu Rumah Baca ini dan beliau bersedia untuk menyebarkan
informasi ini kepada kenalan-kenalannya, termasuk teman-temannya di BSM. Kami mengobrol
lumayan banyak sambil sesekali tertawa lepas. Ruangan yang padat itu jadi ramai
karena suara obrolan dan tawa kami. Saat saya hendak berpamitan, seorang
pegawai pemda berbaju hijau tua datang untuk menemui mas Agus yang justru makin
mempermudah saya untuk minta diri dari situ. Saya mengucapkan terima kasih
kepada mas Agus atas penerimaannya yang hangat .
Dari BSM, entah kenapa, saya ingin pulang. Sampai di rumah,
firasat saya ternyata benar, mobil Kijang Innova bercat abu-abu milik tetangga
saya sudah terparkir di depan rumah. Saya lalu memasukkan mobil di garasi dan
berjalan ke rumah yang jaraknya dari rumah saya hanya dipisahkan dengan satu
rumah saja. Itu adalah rumah keluarga istri saya, ibu Masnawati Muhammad. Kami biasa
memanggilnya Mak Pena, atau Tante Sau, atau Da’a. Saat gerbang berwarna hitam
di rumah ibu Masnawati telah tampak, saya melihat suaminya, kami biasa
memanggil beliau Om Peki atau Pak Pena, keluar dari dalam rumah. Saya bertanya
apakah ada Mak Pena di rumah, beliau bilang ada dan menyilakan saya masuk. Menenteng
tas kain berwarna hitam, saya masuk lewat pintu samping yang terbuka lebar,
mengetuk pintu dan menguluk salam. Ibu Masnawati keluar dari kamarnya. Ia berkata
bahwa ia baru saja sampai. Saya bilang kebetulan sekali karena saat saya
melihat mobil Innovanya terparkir, saya langsung bergegas ke rumah ini untuk
suatu keperluan.
Dari raut wajahnya, saya bisa menduga bahwa beliau sudah
tahu maksud kedatangan saya siang menjelang sore itu. Oh iya, saya lupa
menyebutkan bahwa Ibu Masnawati ini adalah anggota legislatif DPRD Kabupaten
Banggai dari PPRN. Pada pemilu legislatif bulan April kemarin, beliau kembali
terpilih lewat partai yang berbeda: Gerindra. Beliau masih ada hubugan keluarga
dengan istri saya dari pihak ibu. Singkat cerita, saya mengobrol banyak dengan
beliau. Saya mengutarakan keprihatinan saya terhadap kondisi anak-anak di
komplek BTN ini dan mengajaknya untuk turut serta mengatasi persoalan yang ada
di sini. Saat saya mengeluarkan proposal, beliau hendak meminta diri untuk
masuk ke kamar, mungkin untuk mengambil uang, tapi, dengan segala hormat, saya
langsung mencegahnya. Saya ingin mengajaknya berdiskusi dulu sebelum saya
meminta kesediaannya untuk membantu usaha ini.
Ketika saya bersilaturahim dengan beberapa orang untuk
menyampaikan proposal Rumah Baca Jendela Ilmu, saya tidak ingin sekedar
menyerahkan beberapa lembar kertas warna-warni terjilid yang berisi permohonan
bantuan, baik dana maupun barang lainnya, tapi juga sebagai momen untuk
berdiskusi, berbagi keprihatinan akan kondisi anak-anak di Luwuk yang kurang
mendapat perhatian dari masyarakatnya dalam hal minat baca mereka, serta
mengajak semua elemen masyarakat untuk turun tangan dan berkontribusi riil demi
menciptakan masyarakat yang lebih terstruktur dan lebih baik di masa depan.
Saya percaya, semua anak, siapapun mereka, punya hak yang
sama untuk dapat menjalankan masa tumbuh-kembang mereka secara optimal dan
terarah, serta mendapatkan pendampingan yang memadai dari para orangtua dan
elemen masyarakat lainnya yang memiliki kepentingan dan masih menyimpan
kepedulian serta optimisme akan masa depan kolektif daerah ini di masa
mendatang. Hal inilah yang menjadi topik diskusi kami siang itu. Saya
memintanya untuk menyimpan proposal itu dan menyerahkan kepada beliau kira-kira
bantuan dalam bentuk apa yang tepat untuk mendukung usaha itu yang sesuai
dengan kapasitasnya sebagai seorang anggota legislatif.
Selain bertemu dengan empat orang tersebut, pada hari Selasa
(22/7) saya juga bertemu dengan teman saya yang bernama Mhono. Ia punya bakat
menggambar komik yang sangat bagus. Berkat saran dari teman saya yang lain di
Facebook, Mas Ichang, saya memintanya datang ke Masjid Agung jam 1 siang untuk
membahas beberapa hal terkait rencana pembuatan brosur rumah baca. Siang itu
kami juga mengobrol banyak tentang dunia komunitas di Luwuk dan tentang hal-hal
ringan lainnya.
Tulisan ini sebenarnya hendak saya buat semalam. Tapi karena
sudah terlalu mengantuk, saya akhirnya langsung tertidur sekitar pukul 9 malam. Sepertinya
kronik kali ini lumayan panjang. Semoga pembaca tidak jatuh bosan karenanya. Tabik! [rbjendelailmu]
Luwuk, Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar