Suasana kantor kelurahan Kilongan Permai tampak sepi. Hanya ada
dua buah sepeda motor yang terparkir di pelatarannya. Saya memarkir mobil di
depan pintu masuk kantor, mengambil map hijau di dashboard, dan masuk ke dalam
kantor. Seorang ibu paruh baya sedang duduk di ruang depan kantor yang
berukuran mungil dan disesaki dengan dua buah meja besar dan beberapa kursi itu.
Usai menguluk salam, saya bertanya apakah saya bisa bertemu ibu Erlin. Ibu itu
tersenyum dan berkata bahwa dialah Erlin yang saya cari.
“Oh, bapak ini yang tadi dibilangnya pak lurah mau datang ke
kantor buat minta stempel?” tanyanya. Saya mengiyakannya. Ibu Erlin menyilakan
saya duduk sementara ia mengambil sebuah wadah berisi alat tulis,
kertas-kertas, dan stempel sekaligus bantalannya.
Saya menyorongkan secarik kertas kepadanya, mengambil kursi
plastik yang ada di dekat situ dan duduk. Sambil duduk, saya memandangi lingkungan
sekitar kantor kelurahan yang sangat tenang. Bahkan saking tenang dan sepinya,
kantor ini pernah kebobolan maling beberapa bulan yang lalu.
“Laptop, komputer, dan perlengkapan elektronik lainnya hilang semua”, aku ibu Erlin sambil membaca-baca kertas yang saya serahkan kepadanya. Saya memandang kota Luwuk yang tersembunyi di balik lekukan bukit dari ruang depan kantor yang menyajikan pemandangan ke arah lautan itu. Ibu Erlin bertanya kepada saya soal alasan kedatangan saya. Ia hanya diberitahu oleh atasannya bahwa nanti akan ada orang yang minta dibuatkan surat keterangan dari kelurahan sekaligus meminta stempel dokumen sehingga nanti atasannya itu akan menandatangani dokumen itu di rumahnya saja. Saya bercerita tentang alasan kedatangan saya, termasuk tentang rencana saya membuat rumah baca di atas (BTN Muspratama). Selain ibu Erlin, ikut nimbrung pula dua orang ibu pegawai kantor kelurahan itu. Mereka mengapresiasi rencana saya itu dan akan sangat senang jika rumah baca tersebut kelak beroperasi.
“Laptop, komputer, dan perlengkapan elektronik lainnya hilang semua”, aku ibu Erlin sambil membaca-baca kertas yang saya serahkan kepadanya. Saya memandang kota Luwuk yang tersembunyi di balik lekukan bukit dari ruang depan kantor yang menyajikan pemandangan ke arah lautan itu. Ibu Erlin bertanya kepada saya soal alasan kedatangan saya. Ia hanya diberitahu oleh atasannya bahwa nanti akan ada orang yang minta dibuatkan surat keterangan dari kelurahan sekaligus meminta stempel dokumen sehingga nanti atasannya itu akan menandatangani dokumen itu di rumahnya saja. Saya bercerita tentang alasan kedatangan saya, termasuk tentang rencana saya membuat rumah baca di atas (BTN Muspratama). Selain ibu Erlin, ikut nimbrung pula dua orang ibu pegawai kantor kelurahan itu. Mereka mengapresiasi rencana saya itu dan akan sangat senang jika rumah baca tersebut kelak beroperasi.
Setelah berbincang agak banyak, ibu Erlin meminta diri untuk
ke ruangan sekretaris lurah sambil membawa beberapa kertas, termasuk secarik
kertas yang tadi saya berikan. Tak sampai seberapa lama, seorang lelaki paruh
baya keluar dari ruangan di bagian belakang, sepertinya beliau adalah
sekretaris lurah yang baru saja ditemui ibu Erlin, dan berjalan ke ruangan yang
ada di bagian depan. Suara tak tik tak mesin ketik mewarnai siang yang hening
itu. Sambil menunggu surat keterangan yang saya minta selesai diketik, saya
memandangi dinding kantor yang ditempeli papan informasi. Selain papan berisi
struktur kantor kelurahan, ada dua papan di bagian depan kantor ini, yang ada
di hadapan saya, yang berisi profil dan monografi kelurahan Kilongan Permai
secara umum. Papan informasi yang dibuat seadanya itu memuat aneka informasi
yang sebenarnya bisa sangat berguna untuk kemajuan daerah. Namun entah kenapa,
saya yakin kalau informasi yang tertulis di papan itu tidak pernah diperbarui.
Keyakinan saya terbukti saat saya bertanya kepada salah satu
ibu pegawai kantor kelurahan yang sedang menghitung uang di situ seperti
tentang jumlah anak-anak usia SD dan SMP yang ada di Muspratama, jumlah
keluarga kurang mampu yang ada di Muspratama, dan pertanyaan-pertanyaan empirik
lainnya.
Saat mata saya menelusuri tulisan-tulisan yang tercantum di
papan itu satu demi satu, saya tidak menemukan fasilitas publik bernama perpustakaan
di sana – well, saya tidak akan terkejut.
Saya juga tidak menemukan ada komunitas taman bacaan di sana. Padahal, kalau
saya tidak khilaf, di kelurahan Kilongan Permai ini ada banyak sekolah. Mulai
dari MIN 9, SDN Muspratama, PAUD Muspratama, PAUD Nusagriya, SMP 6, dan
Pesantren DDI. Dari konfigurasi yang ada seperti itu saja, sebenarnya sudah
bisa ditebak berapa kira-kira jumlah anak usia SD-SMP yang tinggal di daerah
itu. Saya lalu bertanya kepada ibu Erlin, apakah di daerah ini pernah ada
komunitas taman bacaan yang dijawabnya dengan tidak ada – sekali lagi saya
tidak terkejut.
Bunyi hentakan mesin ketik masih meramaikan siang menjelang
sore yang hening di kantor kelurahan tersebut. Seorang ibu pegawai kelurahan
yang berusia agak muda bertanya kepada saya tentang hal-hal teknis seputar taman
bacaan yang akan saya kelola. Saya menjawab pertanyaan ibu itu dengan
sebaik-baiknya dan ia pun berjanji akan mampir ke taman bacaan itu suatu hari
nanti. Ia merasa senang dan mendoakan keberhasilan untuk usaha saya itu. Ibu
itu juga meminta lembar pengesahan yang saya bawa untuk distempel dan
ditandatangani lurah supaya ia bisa menuliskan nama dan NIP pak lurah di situ. Saya
berterima kasih atas bantuannya.
Beberapa menit kemudian, suara mesin ketik berhenti. Pak sekretaris
lurah memanggil ibu Erlin dan ia kembali ke ruangannya di belakang. Ibu Erlin
lalu menyerahkan kertas yang baru saja diketik itu kepada saya untuk diperiksa.
Saya menyetujuinya dan ibu Erlin langsung menomori dan menstempelnya. Ibu muda
yang tadi banyak bertanya kepada saya tampak masih menulis di lembar
pengesahan. Beberapa menit kemudian, kedua ibu itu sudah menyelesaikan
pekerjaannya. Saya mengucapkan terima kasih kepada mereka semua dan meminta
diri untuk ke rumah pak Baharullah dan meminta tanda-tangannya.
Sekitar tujuh belas menit kemudian, saya sampai di kantor. Saya
memarkir mobil dan mencari-cari satpam untuk meminjam motor. Pos satpam kosong.
Saya masuk ke lobi kantor. Mas Is, satpam kantor saya, sedang duduk di salah
satu sofa. Saya lalu meminjam motornya. Ia langsung bangkit dan mengajak saya
berjalan ke pos. Setelah membuka pintu pos, ia membawa seutas kunci dan
menempatkannya di motor.
“Mau ke Jole, mas Is”, kata saya yang dibalasnya dengan
anggukan dan senyuman. Saya berterima kasih kepadanya dan langsung berlalu. Di Jole,
saya sudah ditunggu oleh pak Baharullah yang sedang duduk di ruang tamunya
sambil membaca koran. Masih berseragam kerja, beliau bertanya tentang beberapa
hal seputar surat keterangan yang dibuat oleh anak buahnya. Saya menyerahkan
map berwarna hijau berisi kertas-kertas yang akan ditandatanganinya itu kepadanya.
Beberapa detik kemudian, beliau selesai membubuhkan tanda-tangannya. Saya pamit
dan segera meluncur ke tukang fotokopi di perempatan lampu merah Karaton untuk menjilid
proposal yang sudah lengkap itu. Dengan demikian, petualangan saya hari itu
telah selesai. Semoga semua pihak yang telah memudahkan semua urusan saya hari
ini mendapatkan sebaik-baik balasan dari Allah swt. Amin. [rbjendelailmu]
Luwuk, Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar