Luwuk pagi hari masih dicumbui gerimis tipis dan diurapi seberkas
sinar matari lemah dari balik awan kelabu. Bukit We tampak mendongak ke langit
abu-abu sementara saya sedang berusaha memarkir mobil saya di samping sebuah
tembok yang terbuat dari bata merah. Bunyi gemiricik air dari Kuala Mangkio
yang sempit menjadi satu-satunya suara di situ. Setelah melewati jembatan kecil
yang membelah kuala mini itu, saya sampai di depan sebuah rumah yang pintu
depannya masih terbuka. Seorang lelaki sedang tidur di sofa ruang tamu,
membelakangi pintu depan. Saya mengetuk pintu rumah dan menguluk salam dengan
suara keras. Seorang lelaki lainnya keluar dari dalam dan menyilakan saya
masuk. Ia kembali ke dalam dan terdengar suaranya sedang memanggil orang yang
hendak saya temui pagi itu.
Orang itu lalu keluar. Seorang perempuan berjilbab lebar dan
baju terusan bermotif batik. Perutnya semakin membuncit tanda hari kelahiran
buah hati pertamanya semakin dekat. Ia lalu membangunkan lelaki yang sedang
tidur di salah satu sofa, yang ternyata adalah adiknya itu, agar ia bisa duduk
di situ. Butuh usaha yang agak keras sebelum lelaki muda itu akhirnya bangun
dan pergi ke belakang rumah, mungkin, untuk melanjutkan tidurnya yang terusik
oleh kedatangan saya.
Perempuan yang ada di seberang saya itu ternyata sudah
menduga kedatangan saya ke rumahnya pagi itu -- well, sebelumnya saya memang sudah meneleponnya bahwa saya akan datang ke rumahnya pagi itu hehe. Oh iya, dia bernama Firnawati Labihi.
Kami biasa memanggilnya Nia. Ia adalah seorang fasilitator CSR DSLNG di desa Sinorang
Pantai. Saya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kain berwarna hitam yang
saya bawa. Sebuah proposal dari rumah baca yang sedang saya kelola. Nia meraih
proposal itu dan mulai membacanya sementara saya memberikan beberapa penjelasan
terkait rencana saya membuat rumah baca yang menjadi konten utama proposal itu.
Saya, entah kenapa, memiliki keyakinan bahwa Nia adalah sosok yang tepat untuk
proyek ini.
Obrolan kami berkembang. Nia ternyata sempat punya keinginan
untuk membuka taman bacaan di rumahnya. Ia merasa prihatin dengan kondisi
anak-anak di lingkungannya yang hanya mengisi waktu luangnya dengan bermain
tanpa arah dan minim perhatian dalam hal pendidikannya. Kami berdua ternyata
punya keprihatinan yang sama karena ternyata di masa lalu ia pernah ditanya
oleh sebuah perusahaan tempatnya bekerja tentang keberadaan taman bacaan di
kota Luwuk yang nyatanya ketika itu masih belum ada. Oleh karenanya, saya
mengajaknya untuk mendukung rencana rumah baca ini sebagai sebuah pilot
project. Sehingga ketika rumah baca ini semakin berkembang dan mendapat
kepercayaan yang besar dari para donatur dan stakeholder yang ada, maka bukan
tidak mungkin kalau rumah baca ini akan dikembangkan menjadi cabang-cabang yang
tersebar di seantero kota Luwuk. Nia tampak bersemangat dengan ide saya dan
berjanji untuk menyuarakan proposal itu kepada teman-temannya di tempat
kerjanya. Kami lalu memperlebar diskusi untuk memperbesar jejaring potensi yang bisa kami manfaatkan untuk turut membantu merealisasikan rencana ini.
Keyakinan saya ternyata terbukti. Nia memang orang yang
tepat untuk diajak bertukar pikiran tentang hal ini. Responnya yang bersemangat
menjadikan saya makin bersemangat untuk mengelola rumah baca ini secara
maksimal dan profesional supaya manfaatnya bisa dirasakan oleh lebih banyak
orang, suatu hari nanti, insya Allah. Saya berpamitan kepadanya seraya
menitipkan semangat itu untuk kepada orang lain yang punya kepedulian dengan
dunia pendidikan di kota ini. Suara gemericik air dari kuala Mangkio dan
gerimis tipis yang menyelimuti jalanan kota ini menemani langkah saya menuju tempat
mobil saya terparkir. Semoga ada kabar baik. Amin. [rbjendelailmu]
Luwuk, Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar