Minggu, 20 Juli 2014

Kronik Rumah Baca: 21 Juli 2014

Luwuk pagi hari masih dicumbui gerimis tipis dan diurapi seberkas sinar matari lemah dari balik awan kelabu. Bukit We tampak mendongak ke langit abu-abu sementara saya sedang berusaha memarkir mobil saya di samping sebuah tembok yang terbuat dari bata merah. Bunyi gemiricik air dari Kuala Mangkio yang sempit menjadi satu-satunya suara di situ. Setelah melewati jembatan kecil yang membelah kuala mini itu, saya sampai di depan sebuah rumah yang pintu depannya masih terbuka. Seorang lelaki sedang tidur di sofa ruang tamu, membelakangi pintu depan. Saya mengetuk pintu rumah dan menguluk salam dengan suara keras. Seorang lelaki lainnya keluar dari dalam dan menyilakan saya masuk. Ia kembali ke dalam dan terdengar suaranya sedang memanggil orang yang hendak saya temui pagi itu.

Orang itu lalu keluar. Seorang perempuan berjilbab lebar dan baju terusan bermotif batik. Perutnya semakin membuncit tanda hari kelahiran buah hati pertamanya semakin dekat. Ia lalu membangunkan lelaki yang sedang tidur di salah satu sofa, yang ternyata adalah adiknya itu, agar ia bisa duduk di situ. Butuh usaha yang agak keras sebelum lelaki muda itu akhirnya bangun dan pergi ke belakang rumah, mungkin, untuk melanjutkan tidurnya yang terusik oleh kedatangan saya.

Perempuan yang ada di seberang saya itu ternyata sudah menduga kedatangan saya ke rumahnya pagi itu -- well, sebelumnya saya memang sudah meneleponnya bahwa saya akan datang ke rumahnya pagi itu hehe. Oh iya, dia bernama Firnawati Labihi. Kami biasa memanggilnya Nia. Ia adalah seorang fasilitator CSR DSLNG di desa Sinorang Pantai. Saya lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas kain berwarna hitam yang saya bawa. Sebuah proposal dari rumah baca yang sedang saya kelola. Nia meraih proposal itu dan mulai membacanya sementara saya memberikan beberapa penjelasan terkait rencana saya membuat rumah baca yang menjadi konten utama proposal itu. Saya, entah kenapa, memiliki keyakinan bahwa Nia adalah sosok yang tepat untuk proyek ini.

Obrolan kami berkembang. Nia ternyata sempat punya keinginan untuk membuka taman bacaan di rumahnya. Ia merasa prihatin dengan kondisi anak-anak di lingkungannya yang hanya mengisi waktu luangnya dengan bermain tanpa arah dan minim perhatian dalam hal pendidikannya. Kami berdua ternyata punya keprihatinan yang sama karena ternyata di masa lalu ia pernah ditanya oleh sebuah perusahaan tempatnya bekerja tentang keberadaan taman bacaan di kota Luwuk yang nyatanya ketika itu masih belum ada. Oleh karenanya, saya mengajaknya untuk mendukung rencana rumah baca ini sebagai sebuah pilot project. Sehingga ketika rumah baca ini semakin berkembang dan mendapat kepercayaan yang besar dari para donatur dan stakeholder yang ada, maka bukan tidak mungkin kalau rumah baca ini akan dikembangkan menjadi cabang-cabang yang tersebar di seantero kota Luwuk. Nia tampak bersemangat dengan ide saya dan berjanji untuk menyuarakan proposal itu kepada teman-temannya di tempat kerjanya. Kami lalu memperlebar diskusi untuk memperbesar jejaring potensi yang bisa kami manfaatkan untuk turut membantu merealisasikan rencana ini. 

Keyakinan saya ternyata terbukti. Nia memang orang yang tepat untuk diajak bertukar pikiran tentang hal ini. Responnya yang bersemangat menjadikan saya makin bersemangat untuk mengelola rumah baca ini secara maksimal dan profesional supaya manfaatnya bisa dirasakan oleh lebih banyak orang, suatu hari nanti, insya Allah. Saya berpamitan kepadanya seraya menitipkan semangat itu untuk kepada orang lain yang punya kepedulian dengan dunia pendidikan di kota ini. Suara gemericik air dari kuala Mangkio dan gerimis tipis yang menyelimuti jalanan kota ini menemani langkah saya menuju tempat mobil saya terparkir. Semoga ada kabar baik. Amin. [rbjendelailmu]



Luwuk, Juli 2014

0 komentar:

Posting Komentar