“Paytua lagi ke
luar. Ada urusan di Kilo Dua”, ujar ibu paruh baya itu.
“Tapi barangkali sabantar lagi dia so mo pulang, soalnya so
dari tadi dia ada pigi”, lanjutnya.
“Ada nomor beliau yang bisa saya hubungi, bu?” tanya saya.
Ibu itu lalu memanggil salah satu putrinya yang tak seberapa
lama kemudian datang kepada saya dan langsung mendiktekan nomor seluler bapaknya.
Selesai mencatat nomor itu, saya lalu menekan ikon telepon di telepon seluler
saya. Beberapa detik kemudian, saya berbicara dengan suara di seberang sana
yang sepertinya mengangkat teleponnya di pinggir jalan. Suara kendaraan lalu
lalang terdengar dari ujung telepon. Saya berkata bahwa saya sudah ada di rumah
Pak Lurah dan mau ada perlu dengannya.
“Sebentar saya so mo meluncur kesitu. Ada sementara di jalan, ini”, teriaknya.
Sore itu, selepas shalat Ashar, saya meng-sms Kak Ayat
(Hidayat Monoarfa) untuk bertanya apakah ia sudah ada di rumah. Beberapa detik
kemudian ia membalas bahwa ia sudah ada di rumahnya. Kami berdua memang sudah
janjian sejak pagi untuk saling bertemu sore ini. Insinyur Hidayat Monoarfa,
atau biasa disapa Kak Ayat, adalah Anggota Legislatif DPRD Kabupaten Banggai
dari Fraksi PKS periode 2009-2014. Ini adalah bulan-bulan terakhir masa
pengabdiannya sebagai anggota legislatif. Pemilu 2014 lalu tidak menghasilkan
suara yang cukup untuk mengantarnya kembali ke Parlemen Lalong sehingga
digantikan oleh Ustadz H. Iswan Kurnia Hasan Lc. MA yang meraup suara terbanyak
di PKS pada daerah pemilihan (dapil) 1 yang juga dapilnya.
Kak Ayat adalah anggota dewan yang punya kepedulian tinggi
dengan dunia pendidikan di Kabupaten Banggai. Selain aktif sebagai pengurus di
BKPRMI dan Dompet Dhuafa, wajahnya kerap kali muncul di koran lokal dalam
event-event sosial. Beliau juga sekaligus fasilitator Beasiswa Smart Ekselensia
untuk wilayah Kabupaten Banggai. Saya dan beliau sesekali berdiskusi tentang
dunia pendidikan di daerah ini. Kedatangan saya ke rumahnya sore itu demi
meminta tolong kepadanya untuk menemani saya berkunjung ke rumah Lurah Kilongan
Permai, bapak Baharullah Arsad, yang rumahnya ternyata bertetangga dengan tempat
tinggal Kak Ayat di Jole.
Saat datang ke rumahnya yang terletak di dalam gang sempit,
saya mendapatinya sedang bersantai. Ia mengenakan baju koko dan celana panjang
putih. Saya berbincang sebentar dengan beliau perihal niat kedatangan saya ke
rumahnya sore itu. tak sampai lima menit kami berbincang, ia lalu mengajak saya
berjalan ke rumah Pak Lurah yang ternyata hanya berjarak sekitar tiga puluh
meter dari rumahnya.
“Itu de pe rumah ada di belakang sini”, katanya sambil
menunjuk ke arah belakang rumahnya.
Sesampainya di rumah Pak Lurah, kami disambut oleh istrinya
dan disilakan duduk di ruang tamu untuk menunggu kedatangan suaminya yang masih
ada di luar. Aneka foto tergantung di dinding. Ada foto keluarga, ada foto
pelantikannya sebagai lurah, dan foto-foto lainnya. Kak Ayat bercerita bahwa
rumah ini dulunya adalah rumah orangtuanya pak Baharullah. Pak Baharullah
sendiri belum lama pindah dari tempat tinggalnya terdahulu di Tontouan sebelum
akhirnya pindah ke Jole, aku Kak Ayat. Saya manggut-manggut.
Tak sampai sepuluh menit menunggu, Pak Baharullah pun
datang. Ia tampak santai dengan kaus dan celana tiga perempat. Wajahnya
tersenyum ramah saat menyalami saya. Setelah berbasa-basi sebentar, ia
menanyakan perihal kedatangan saya sore itu. Kak Ayat memukaddimahi pertemuan
itu dengan memperkenalkan saya kepada pak Baharullah. Setelah itu, forum
diserahkan kepada saya dan saya mulai menjelaskan kedatangan saya ke rumahnya
sore itu. Sekitar lima menit saya menjelaskan tentang saya, rencana saya,
termasuk menyorongkan draft proposal yang sudah saya buat kepadanya untuk
dibaca-baca.
Selesai menyimak saya berbicara, ia lalu mengambil kacamata
bacanya di atas bufet dan menekuri proposal hitam putih yang saya serahkan
barusan. Ia bertanya tentang hal-hal detil seperti lokasi jelasnya dimana, target
rumah bacanya untuk siapa, koleksi buku yang saat ini ada berapa banyak, dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Saya coba menjawab semua pertanyaan itu dengan
sebaik mungkin yang dibalasnya dengan anggukan kepala berkali-kali. Batin saya,
kalau bapak ini banyak bertanya, artinya beliau memerhatikan kata-kata saya dan
proposal yang ada di tangannya pasti dibaca. Saya juga memerhatikan Kak Ayat
yang tampak menyimak kata-kata saya dengan seksama.
“Kalo saya pribadi, rencana sebagus ini harus didukung,
siapa tahu nanti bisa dikembangkan lagi kepada kegiatan-kegiatan lainnya”,
katanya sambil menyebutkan beberapa kegiatan yang semuanya sudah saya cantumkan
di dalam proposal.
“Saya memang punya rencana seperti itu pak, makanya saya
butuh semacam legalisasi dari pemerintah daerah, dalam hal ini bapak sebagai
Lurah Kilongan supaya rencana ini bisa direalisasikan”, terang saya.
“Te mungkin saya mo tolak kalo ada warga yang punya niat
baik macam bagini, pak” katanya sambil tertawa. Saya dan Kak Ayat ikutan
tertawa.
“Jadi begini. Pak buat saja draft surat rekomendasi yang
bapak maksud tadi, nanti saya tinggal tanda-tangan saja”, ujarnya.
“Baik. Senin besok insya Allah saya ke kantor. Bapak nggak
ada rencana ke luar kota kan?” tanya saya. Ia menggeleng mantap.
“Tidak. Saya ada di kantor. Nanti pak datang saja” ujarnya
ramah.
Selain obrolan tentang rumah baca, kami juga sempat
berbincang tentang suasana pencapresan dan segala hiruk-pikuknya. Dari
uraian-uraian yang disampaikannya, dalam hati saya membatin, bapak ini
sepertinya pendukung capres nomor satu, hehe.
Suara pengajian dari speaker masjid Jole sudah mulai
terdengar. Kak Ayat memberi kode kepada kami bahwa waktu berbuka sudah semakin
dekat. Saya pamit undur diri dan mengucapkan terima kasih kepada Pak Baharullah
yang sudah meluangkan waktunya untuk menemui saya. Draft proposal yang saya
bawa saya serahkan kepadanya.
“Untuk bapak pelajari, barangkali ada yang mau dikase tambah”, ujar saya.
“Untuk bapak pelajari, barangkali ada yang mau dikase tambah”, ujar saya.
“So bole ini. So mantap!” katanya lugas.
Sepulang dari rumah pak lurah, kak Ayat mengantar saya
sampai ke tempat saya memarkir mobil. Ia lalu membantu saya agar saya dapat
memutar mobil saya dengan nyaman dengan cara membuka pintu pagar tempat ia
memarkir mobilnya. Saya mengucapkan terima kasih kepadanya dan berharap agar
bisa kembali bertemu lain waktu. Sore semakin mendekat. Jalan Urip Sumoharjo
masih dipenuhi dengan pembeli kue berbuka. Saya melajukan mobil ke arah Puge
untuk mengantarkan sesuatu ke sana sebelum memutuskan untuk pulang. Benar-benar
hari yang menggembirakan. Semoga semuanya berjalan dengan lancar. [rbjendelailmu]
Luwuk, Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar